ArtikelBerita

Penghapusan Kuota Impor: Kebijakan Tepat, Komunikasi yang Gagal?

oleh : Fahrul Rusyadi
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasai Universitas Andalas

Kebijakan penghapusan kuota impor seringkali diposisikan sebagai bagian dari upaya besar pemerintah dalam mendorong efisiensi ekonomi nasional dan memperkuat integrasi Indonesia dalam rantai pasok global. Namun dalam praktiknya, kebijakan ini tidak hanya mengandung pertimbangan teknis, melainkan juga sarat dengan dimensi politik, sosial, dan psikologis. Dalam konteks inilah, pengelolaan komunikasi strategis menjadi hal yang sangat menentukan.

Sayangnya, kebijakan yang bertujuan baik ini kerap kali tersandung bukan pada substansinya, melainkan pada kegagalan pemerintah dalam mengkomunikasikannya kepada publik. Ketika sebuah kebijakan yang kompleks tidak dibarengi dengan komunikasi yang terbuka, responsif, dan empati, maka resistensi sosial akan tumbuh subur. Kepercayaan publik terkikis, spekulasi liar bermunculan, dan pada akhirnya tujuan kebijakan bisa batal tercapai.

Sejumlah peristiwa aktual mencerminkan betapa pentingnya komunikasi strategis dalam ranah kebijakan publik. Penunjukan musisi Ifan Seventeen sebagai Direktur Utama BUMN film PT PFN, misalnya, menimbulkan reaksi keras di ruang publik. Terlepas dari kapasitas personal sang figur, publik mempertanyakan kredibilitas proses pengangkatan, hingga akhirnya keputusan tersebut berdampak pada persepsi pasar dan fluktuasi IHSG. Di sisi lain, kiriman kepala babi ke kantor Tempo menjadi krisis simbolik yang memperlihatkan bagaimana narasi yang gagal dikelola dapat memunculkan polarisasi sosial. Peristiwa ini menegaskan bahwa komunikasi bukan sekadar penyampaian informasi, melainkan arena pertarungan makna yang menentukan stabilitas sosial dan reputasi institusional.

Kegagalan Narasi dan Absennya Empati Komunikatif

Salah satu kelemahan utama dalam penghapusan kuota impor adalah dominasi pendekatan teknokratis yang terlalu menekankan angka dan efisiensi, tanpa membingkai narasi kebijakan dalam bahasa publik. Pemerintah lebih banyak berbicara melalui angka-angka makro, tanpa menjelaskan bagaimana dampaknya akan terasa oleh petani, pedagang, atau pekerja pabrik. Narasi ekonomi seringkali tidak menjangkau ruang emosi masyarakat, sehingga menciptakan kesenjangan persepsi.

Kurangnya pelibatan publik dalam desain dan sosialisasi kebijakan memperparah masalah ini. Publik merasa tidak dilibatkan, hanya diberi tahu. Dalam situasi seperti ini, muncul persepsi bahwa negara bersikap sepihak dan tidak peduli. Hal ini sangat kontras dengan figur seperti Kang Dedi Mulyadi, yang dalam berbagai situasi krisis berhasil menjaga reputasinya melalui pendekatan komunikasi yang dekat dengan rakyat, narasi yang menyentuh, dan konsistensi antara ucapan dan tindakan. Cara komunikasi semacam ini terbukti jauh lebih efektif dalam membangun kredibilitas dibandingkan sekadar mengandalkan data statistik.

Reputasi dan Krisis Kepercayaan: Ancaman Nyata bagi Kebijakan Publik

Reputasi sebuah institusi bukan hanya ditentukan oleh produk kebijakannya, tetapi juga oleh bagaimana kebijakan itu disampaikan dan diterima publik. Ketika pemerintah gagal mengantisipasi respons publik, maka reputasi pun terancam. Dalam konteks penghapusan kuota impor, potensi krisis reputasi muncul jika pelaku usaha lokal merasa tidak dilindungi, konsumen merasa dibohongi, atau kelompok produsen merasa dikorbankan demi kepentingan asing.

Kasus kiriman kepala babi ke kantor Tempo menunjukkan bahwa simbol, persepsi, dan emosi memainkan peran yang sangat besar dalam membentuk opini publik. Ketika pemerintah lambat merespons, publik dengan cepat mengisi kekosongan narasi dengan tafsir sendiri yang sering kali bias, emosional, dan destruktif. Maka, transparansi dan kecepatan menjadi elemen penting dalam strategi komunikasi publik, terutama dalam situasi yang rentan memunculkan krisis.

Krisis komunikasi ini juga berdampak langsung pada ekonomi. Ketika pasar membaca ketidakpastian arah kebijakan atau meragukan kapabilitas pejabat yang ditunjuk, maka dampaknya bisa terlihat dalam gejolak pasar modal dan turunnya minat investasi. Kasus penunjukan Ifan Seventeen menunjukkan betapa pentingnya sensitivitas dalam membangun persepsi publik. Dalam sistem demokrasi terbuka dan ekosistem digital yang cair, reputasi dapat runtuh hanya karena satu keputusan yang tidak dikomunikasikan dengan benar.

Mendesain Strategi Komunikasi Publik yang Berkelanjutan

Solusi atas berbagai tantangan ini bukan sekadar kosmetik komunikasi, melainkan desain ulang pendekatan komunikasi publik secara menyeluruh. Pemerintah perlu membangun sistem komunikasi dua arah yang menjangkau semua kelompok kepentingan secara adil dan adaptif. Pertama-tama, perlu dilakukan pemetaan aktor secara cermat siapa saja yang akan terdampak oleh kebijakan ini, baik langsung maupun tidak langsung.

Penyusunan narasi juga harus dilakukan dengan pendekatan empatik. Alih-alih menekankan efisiensi dan liberalisasi pasar secara kaku, pemerintah harus menunjukkan bagaimana kebijakan ini akan menjawab persoalan nyata masyarakat. Apa manfaatnya bagi UMKM? Bagaimana pemerintah akan melindungi produsen lokal? Bagaimana keseimbangan pasar akan dijaga?

Pemerintah juga perlu menggunakan pendekatan multi kanal dalam penyampaian informasi. Media konvensional harus dikombinasikan dengan media sosial, forum komunitas, dan kemitraan dengan pemangku kepentingan lain seperti asosiasi dagang, organisasi masyarakat sipil, serta tokoh tokoh lokal yang dipercaya masyarakat. Penguatan peran juru bicara yang kredibel, responsif, dan berwawasan isu juga sangat penting agar kebijakan tidak disalah artikan oleh publik.

Antisipasi Krisis sebagai Bagian dari Perencanaan Komunikasi

Komunikasi strategis dalam kebijakan publik juga harus mengantisipasi kemungkinan terjadinya krisis. Oleh karena itu, penting untuk menyiapkan unit tanggap kritis dengan protokol komunikasi yang jelas. Hal ini mencakup pembuatan holding statement, pelatihan juru bicara, hingga sistem monitoring opini publik secara real-time. Jika sinyal penolakan mulai muncul, pemerintah harus segera menggelar forum klarifikasi, membuka ruang dialog, dan menunjukkan itikad baik untuk menyesuaikan kebijakan berdasarkan masukan publik.

Belajar dari berbagai kasus, seperti kegaduhan simbolik Tempo atau keriuhan soal penunjukan figur publik di lembaga strategis, pemerintah harus menyadari bahwa komunikasi bukan lagi sekadar alat menyampaikan kebijakan, melainkan instrumen vital untuk menjamin keberlangsungan, legitimasi, dan efektivitas kebijakan itu sendiri.

Komunikasi Bukan Tambahan, Tapi Fondasi

Dalam era keterbukaan dan konektivitas informasi yang begitu tinggi, komunikasi tidak lagi bisa diposisikan sebagai pelengkap atau tugas akhir setelah kebijakan disusun. Komunikasi harus menjadi fondasi sejak awal proses perumusan kebijakan. Kebijakan sebesar penghapusan kuota impor yang menyentuh aspek ekonomi, sosial, dan bahkan politik tidak akan berhasil jika tidak dibarengi dengan pendekatan komunikasi yang kuat, adaptif, dan berorientasi pada publik.

Ketika komunikasi dikelola secara strategis, reputasi pemerintah dapat dijaga, kepercayaan publik dipertahankan, dan resistensi sosial dapat ditekan. Pemerintah bukan hanya dilihat sebagai pengambil keputusan, tetapi sebagai mitra dialog yang mendengar, memahami, dan merespons. Di titik inilah, komunikasi berubah dari sekadar fungsi teknis menjadi pilar transformasi sosial dan politik yang berkelanjutan.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *