AGAM – Pekerjaan pelebaran jalan Provinsi Simpang Gudang Manggopoh-Balai Salasa, Kampuang Pinang, Kecamatan Lubuk Basung, Kabupaten Agam, Sumatera barat diduga tidak akan terealisasi tahun ini. Masyarakat menduga tidak adanya keadilan tim pendata dan penaksir besarnya ganti rugi di antara warga, yang tanah dan bangunan mereka terkena pekerjaan pelebaran jalan tersebut.
Demikian disampaikan beberapa warga Manggopoh dan Kampung Tangah, kepada padangmedia.com di Lubuk Basung, kemarin. Diduga, tim pembebasan lahan bekerja bukan berdasarkan besar kecilnya kerugian warga, tetapi melihat siapa yang punya lahan dan bangunan yang terkena pelebaran jalan. Bila pemilik lahan dan bangunan ‘urang basangek,’ maka uang ganti ruginya besar. Namun, bila pemilik lahan dan bangunan ‘rayaik badarai,’uang ganti ruginya sedikit saja.
“Kami sangat ingin jalan kami bagus dan lebar, sehingga lalu lintas lancar. Namun bukan begini caranya pemberian ganti rugi,” ujar mereka senada.
Salah seorang warga Manggopoh yang akrab disapa Imam, mengeluhkan cara kerja tim pembebasan lahan menghitung jumlah uang ganti rugi. Mereka yang sedikit terkena pelebaran jalan, uang ganti ruginya bisa lebih besar dari yang lebih banyak mengalami kerugian akibat pekerjaan pelebaran jalan.
“Itu cara lama, yang menyebabkah pekerjaan pelebaran jalan Simpang Gudang-Padang Luar terkendali cukup lama. Kalau kini diterapkan lagi, berarti pekerjaan pelebaran jalan Simpang Gudang-Balai Salasa akan tekendala lagi,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Pemuka Masyarakat Kampuang Tangah, Dt. Majo Kayo. Menurutnya, masyarakat sudah trauma dengan pekerjaan tim. Maka sebaiknya, tidak usah pakai tim, langsung saja petugas Pemkab Agam berurusan dengan masyarakat yang lahannya terkena pekerjaan pelebaran jalan.
Ia juga mengatakan, masyarakat sejak lama merasa ‘dibodohi’ tim bentukan Pemkab Agam. Pembedaan yang ganti rugi yang mencolok menyebabkan masyarakat enggan menyerahkan tanahnya. Hendaknya, bila yang terkena pelebaran jalan kira-kira sama nilainya,jangan dibedakan jumlah ganti ruginya.
“Bila praktek seperti itu masih dilakukan,mungkin selamanya warga enggan menyerahkan tanah dan bangunannya untuk pekerjaan pelebaran jalan,” ujarnya. (fajar)