
Penulis: Zulfikar
Mahasiswa Magister PPKN Universitas Negeri Padang
Pemerintah Indonesia berencana untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Wacana ini sudah bergulir sekitar 2 atau 3 tahun yang lalu. Alasan pemerintah untuk memindahkan ibu kota diantaranya adalah pemerataan pembangunan dan penyegaran serta mengurangi beban Jakarta.
Ibu kota negara Indonesia pertama kali adalah Jakarta. Namun pemindahan ini pun sudah sering terjadi pada masa awal – awal kemerdekaan Republik Indonesia. Pada bulan Januari 1946 ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta karena Jakarta diduduki oleh Netherlands Indies Civil Administration. Kemudian ibu kota negara juga pernah dipindahkan ke Bukittinggi Sumatera Barat pada tanggal 19 Desember 1946 karena kota Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda dan presiden, wakil presiden dan pejabat tinggi negara diasingkan keluar pulau Jawa. Tahun 1949 ibu kota dipindahkan lagi ke Yogyakarta dan tahun 1950 ibu kota kembali ke Jakarta.
DKI Jakarta ditetapkan sebagai ibu kota Negara Republik Indonesia melalui Undang – Undang Nomor 10 tahun 1964 pada tanggal 31 Agustus 1964. Dari sini jelaslah bahwa ibu kota Negara Republik Indonesia sudah pernah berubah.
Karena Jakarta menjadi ibu kota selama ini, maka Jakarta tumbuh dan berkembang dengan sangat cepat. Jakarta mampu menjadi kawasan metropolitan dengan segala macam fenomena yang ditimbulkannya. Jakarta seperti ibu kota negara – Negara lainnya tumbuh dengan sangat gemerlap. Sehingga Jakarta dijadikan oleh kawula muda sebagai tujuan mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Jakarta pun dilirik oleh semua penduduk Indonesia. Mau mencari kerja pindah ke Jakarta, mau mencari kuliah pindah ke Jakarta, mau mencari kaya pindah keJakarta, mau menjadi terkenal pindah ke Jakarta. Jakarta tumbuh dengan hal – hal yang menggiurkan semua kalangan. Maka hal ini membuat Jakarta juga menjadi lahan yang tidak baik seperti prostitusi, geng bacok, komplotan perampokan, agen pemalsuan dan lainnya. Hal ini terjadi karena begitu metropolisnya Jakarta sehingga yang berkuasa di Jakarta adalah uang. Apalagi kehidupan di Jakarta berlangsung 24 jam. Jakarta seakan tidak pernah diam, selalu hidup dengan hiruk pikuknya kehidupan.
Maka kelompok masyarakat yang gagal mencari penghidupan yang layak di Jakarta akan memilih menjadi golongan minoritas tersendiri seperti penggemis, gelandangan, pencopet, pelacur dan sebagainya yang disebut penyakit masyarakat.
Inilah wajah Jakarta sekarang, yang kaya punya rumah tingkat 10, naik mobil mewah, dasi, tas mewah dan kehidupan yang serba mewah, sementara yang tidak mampu bertahan hidup hanya menjadi orang – orang pinggiran seperti pengemis dan lainnya. Jumalah pengemis ini bertambah setiap tahunnya.
Hal itu juga membuat naiknya tingkat kejahatan setiap tahunnya. Pembunuhan, pembacokan, perampokan bersenjata maupun tidak bersenjata menjadi cerita harian di ibu kota. Ditambah dengan maraknya kehidupan bebas di berbagai kalangan. Ini juga menyebabkan timbulnya berbagai praktek aborsi, pembuangan dan pembunuhan bayi, dan berbagai tindakan kriminal lainnya. Begitu besarnya pertaruhan hidup di Jakarta membuat yang tidak bisa bertahan hanya menjadi sampah masyarakat. Tapi ini tidak menjadi efek jera bagi masyarakat yang ada diluar Jakarta.
Meski banyak yang gagal mendulang kesuksesan, tetap Jakarta menjadi tujuan pertama mencari pekerjaan. Sehingga banyaklah masyarakat di Jakarta yang tinggal di kolong – kolong jembatan, di bawah jalan tol yang mengakibatkan Jakarta juga tumbuh menjadi kotor dan kumuh. Tetapi masyakat tetap berjamuran datang ke Jakarta. Itu tidak lain tidak bukan karena Jakarta sebagai ibu kota dan bayangan akan bisa hidup mewah di Ibu kota.
Hal inilah yang membuat sebagian pengamat resah dan ini sudah sering menjadi wacana dinas sosial, dinas pemukiman dan dinas terkait. Hal ini juga sering dibicarakan di tingkat pengamat, maupun tingkat menteri, mencari solusi dari semua permasalahan Jakarta yang sudah terlanjur menjadi tujuan orang untuk mencari penghidupan yang layak, yang tumbuh menjadi kota metro dan megapolitan yang menggoda setiap orang yang melihatnya.
Selain itu berkaitan dengan kondisi alam, Jakarta yang tiap musim hujan dilanda banjir besar, menjadikan alasan butuh lokasi baru untuk sebuah ibu kota. Masalah lain adanya kemungkinan Jakarta akan tenggelam untuk beberapa tahun yang akan datang. Seperti yang disampaikan Presiden AS Joe Biden tentang kemungkinan Jakarta akan tenggelam dalam 10 tahun mendatang.
Menurut Ahli Geodesi dan Geomatika ITB Dr Heri Andreas, ST, MT. Jakarta memang berpotensi tenggelam tetapi tidak akan tenggelam. Jakarta mengalami penurunan muka tanah sejak 1997. Menurut Heri penurunan ada yang mencapai 20 sentimeter per tahun. Pada tahun ini 2021, sebanyak 14 persen wilayah Jakarta sudah berada di bawah laut dan diperkirakan akan menjadi 28 persen pada tahun 2050. Beberapa tempat seperti Muara Baru sudah turun sejauh 1 meter. Kondisi ini perlu diperhatikan karena akan terus bertambah jika terus diabaikan. Heri mengatakan, jika usaha kita tidak maksimal, maka pada tahun 2050 penurunannya akan mencapai 4 meter.
Berbagai persoalan seperti kondisi alam, kondisi sosial dan lain sebagainya di Jakarta menjadikan pertimbangan pemerintah mencari Ibu kota baru dan memindahkan ibu kota negara.
Masih banyaknya anggapan sebagian besar masyarakat kalau ibu kota itu selalu diwarnai dengan hal–hal yang menggiurkan. Membuat orang berbondong-bondong datang ke Jakarta. Pemerataan pembanguan juga menyebabkan pemerintah mengalihkan ibu kota. Kalau dipidahkan ibu kota otomatis daerah yang akan menjadi ibu kota tadi akan dibangun berbagai sarana prasarana. Hal itu juga akan menampung tenaga kerja sehingga bisa mengalihkan perhatian para tenaga kerja untuk tidak hanya melihat Jakarta sebagai kota mencari kerja.
Dipilihnya Kalimantan tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memindahkan ke lahan yang masih baru, yang luas, yang bisa dibangun secara sempurna menjadi ibukota dengan berbagai infrastruktur penunjangnya. Penduduk Kalimantan juga terkenal mudah menerima temuan baru dan mudah berteman dan bersahabat dengan orang baru sehingga perpaduan dan penyatuan kebudayaan akan mudah di sini.
Negara lain juga ada yang melakukan pemindahan ibu kota tersebut. Sebut saja Negara Brazil yang memindahkan Rio De Jenairo ke Brasillia karena tingkat kemacetan dan kepadatan penduduk Rio De Jenairo, Pakistan juga pernah memindahkan ibu kotanya dari Karachi ke Islamabad, Nigeria dari Lagos ke Abuja, Jerman dari Bonn ke Berlin akibat dari penyatuan 2 Jerman, Rusia dari Moskow ke Saint Petersburg kemudian pindah lagi ke Moskow, Kazakhstan dari Almaty ke Astana, Malaysia dari Kuala Lumpur ke Putrajaya, Myanmar dari Yangon ke Naypyidaw.
Jadi pemindahan ibu kota bukanlah hal yang tidak pernah dilakukan oleh negara lainnya. Hanya kesiapan dana dan mental serta prioritaslah yang perlu dipertanyakan. Apakah bisa dalam waktu yang dekat ini dipindahkan ibu kota. Apakah tepat saat masyarakat susah untuk mencari sesuap nasi, minyak goreng, mahalnya pertamax, hilangnya solar, virus corona masih menjadi momok masyarakat untuk berusaha, harga melambung pemerintah meangalokasikan dananya untuk membangun ibu kota? Atau pemerintah beranggapan kalau tidak sekarang kita mulai kapan lagi?
Kondisi masyarakat yang serba sulit perlu kearifan pemerintah untuk menunda pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan. Rakyat sangat susah butuh perhatian lebih dari pemerintah. Negara sudah 2 tahun dihantam pandemi, banyak korban PHK, banyak usaha yang gulung tikar. Pembangunan Ibukota baru butuh biaya yang sangat besar. Seperti yang diungkapkan Presiden RI Joko Widodo, proyek pemindahan ibu kota negara baru bakal menelan anggaran hingga Rp 501 triliun. (Kompas.com 18 Jan 2022). Biaya pemindahan ibu kota negara yang begitu besar jika digunakan untuk membiayai APBD DKI maka akan mampu dibiayai selama kurang lebih 6 tahun biaya membiayai APBD DKI Tahun 2021 diangka 78.89 Trilun.
Melihat kondisi DKI sekarang, untuk jangka panjang Ibu kota negara memang perlu dipindahkan namun perlu bertahap dan tidak perlu dipaksakan terlalu cepat. Bahkan untuk 5-10 tahun DKI Jakarta masih bisa sanggup sebagai Ibu kota negara. Jika pemindahan dilakukan secara bertahap maka program pemerintah dalam menangani berbagai masalah kemiskinan dan sosial bisa terus dilakukan. Pemerintah juga tidak perlu buru-buru pinjam modal pihak asing. Terkadang pinjaman modal asing juga butuh persyaratan dan konsekuensi yang menyulitkan bangsa kita.
Dengan dilakukan secara bertahap pemindahan ibu kota, maka masyarakat yang kontra secara perlahan akan bisa menerima, namun jika dipaksakan harus segera terlaksana dalam waktu yang singkat tentu akan banyak penafsiran dari masyarakat. Sebuah ibu kota yang dirancang untuk menjadi sebuah ibu kota yang hebat perlu pengemasan dan perancangan yang benar-benar matang. Perlu melibatkan semua pihak di negeri ini dan perlu biaya yang tdak sedikit. Pembangunan ibu kota negara sukses masyarakat makin sejahtera, itulah yang sama-sama kita harapkan, semoga. *)
*) :Seluruh isi tulisan adalah tanggung jawab penulis