Soal Pilgub, DPRD Sumbar Rekomendasikan Penyempurnaan Sistim Penyelenggaraan

Gedung DPRD Sumbar (dok. DPRD Sumbar)
Gedung DPRD Sumbar (dok. DPRD Sumbar)

PADANG- Setelah bekerja selama beberapa waktu, Panitia Khusus (Pansus) pemilihan gubernur – wakil gubernur (pilgub) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Barat akhirnya menyimpulkan beberapa rekomendasi. Rekomendasi tersebut menjadi keputusan DPRD Provinsi Sumatera Barat yang hendaknya ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait.

Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumatera Barat Arkadius Datuak Intan Bano membuka rapat paripurna pengambilan keputusan terhadap rekomendasi Pansus Pilgub, Senin (7/3) menjelaskan, pembentukan pansus untuk menelusuri pelaksanaan pilgub yang digelar serentak pada 2015 lalu adalah dalam rangka perbaikan sistim penyelenggaraan. DPRD dalam hal ini tidak bertujuan untuk menggagalkan atau merugikan salah satu pasangan calon atau menggagalkan pelaksanaan pilkada serentak 2015.

” Upaya DPRD dalam hal ini adalah menjalankan fungsi pengawasan dengan tujuan agar penyelenggaraan pilkada ke depan bisa lebih baik lagi dan memberi masukan penyempurnaan kepada pihak-pihak terkait sehingga pilkada akan berjalan dengan sistim yang lebih baik lagi,” katanya.

Dari kesimpulan pansus yang dijadikan rekomendasi DPRD, setidaknya ada enam poin penting dalam rangka penyempurnaan yang hendaknya menjadi perhatian bagi pemerintah, pemerintah daerah, penyelenggara pemilihan (KPU dan Bawaslu) serta peserta pemilihan dan partai politik. Ketua Pansus Pilgub DPRD Provinsi Sumatera Barat Marlis menyebutkan, enam penyempurnaan tersebut adalah penyempurnaan terhadap aspek pencalonan, pelaksanaan pilkada, sistim, anggaran, syarat pencalonan dan penyempurnaan terhadap aspek lembaga penyelenggara pilkada.

Penyempurnaan pada aspek pencalonan menurut Marlis adalah agar persoalan kewenangan incumbent (petahana), rekening khusus dana kampanye serta persyaratan administrasi calon perlu dipertegas lagi.

“Perumusan dan penjelasan terhadap pengertian “petahana” dan rekening khusus dana kampanye perlu dipertegas lagi dalam Undang-undang agar tidak menimbulkan multitafsir oleh berbagai pihak yang berkepentingan dalam implementasinya,” katanya.

Kemudian, terkait aspek pelaksanaan, rekomendasi yang dihasilkan adalah penyediaan dan pemasangan alat peraga kampanye hendaknya menjadi tanggungjawab paslon. Pengaturan jadwal dan sistim kampanye hendaknya dibuat lebih fleksibel serta merumuskan metode, jadwal dan kuantitas sosialisasi pilkada yang disesuaikan dengan demografi, budaya dan teknologi informasi yang ada. Hal ini terkait, partisipasi pemilih dalam pilkada serentak Sumatera Barat tahun 2015 lalu hanya 59,30 persen yang tentunya perlu menjadi perhatian.

“Termasuk juga memberikan ruang dalam batas tertentu kepada media massa untuk ikut berpartisipasi dalam aktititas sosialisasi maupun kampanye serta meningkatkan profesionalitas penyelenggara pilkada,” lanjutnya.

DPRD Provinsi Sumatera Barat, dalam penyempurnaan terhadap aspek sistim pilkada, menyarankan agar pemilihan gubernur- wakil gubernur diserahkan ke DPRD sementara untuk pilkada bupati/ walikota direkomendasikan untuk tetap dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini direkomendasikan kepada pemerintah pusat dan DPR RI untuk dilakukan perubahan terhadap UU Pilkada.

Sementara dalam aspek anggaran, DPRD Sumatera Barat merekomendasikan agar pada pelaksanaan pilkada mendatang dibiayai oleh APBN. Hal itu dilandasi karena biaya pilkada terlalu memberatkan APBD sehingga terjadi pengurangan anggaran untuk pelaksanaan program strategis pemerintah daerah. Namun jika masih tetap di dalam APBD, proses pembahasannya harus sesuai dengan mekanisme yang ada dan penggunaannya dilaporkan ke DPRD.

“Sedangkan untuk menguji kesesuaian penggunaan angggaran pilkada sebagaimana yang telah dialokasikan dalam APBD perubahan tahun 2015 dan APBD tahun 2016, perlu dilakukan audit dengan tujuan khusus oleh BPK,” katanya.

Syarat pencalonan juga menjadi aspek yang mesti dilakukan penyempurnaan berdasarkan rekomendasi DPRD Provinsi Sumatera Barat. Keharusan mengundurkan diri bagi calon kepala daerah/ wakil kepala daerah terutama yang berasal dari anggota DPR, DPD dan DPRD sementara tidak berlaku bagi petahana telah menimbulkan perlakuan yang tidak equal bahkan diskriminasi. Untuk itu, DPRD merekomendasikan agar dilakukan perubahan UU Pilkada dimana anggota DPR, DPD dan DPD dinyatakan berhenti setelah terpilih.

“Seseorang dengan status tersangka, terdakwa maupun terpidana selanjutnya tidak dibenarkan untuk menjadi calon kepala daerah serta pilkada dapat dilangsungkan apabila terdapat minimal dua pasangan calon,” ujarnya.

Terakhir, Marlis menyampaikan rekomendasi terhadap aspek lembaga penyelenggara pilkada. KPU dan Bawaslu dalam pelaksanaan pilkada lalu secara normatif dinilai telah melaksanakan tugas dengan baik yang perlu diapresiasi. Namun, berbagai bentuk protes, kritikan bahkan aksi unjuk rasa yang terjadi selama proses pilkada perlu juga menjadi catatan yang harus diperhatikan.

Beberapa catatan yang direkomendasikan terhadap aspek penyelenggara pilkada antara lain melakukan revisi yang komprensif terhadap tugas dan wewenang KPU sehingga tidak sekedar menjadi lembaga regulator dan operator. Bawaslu juga perlu diberikan penguatan kewenangan sehingga dapat memutus permasalahan pilkada dalam waktu singkat. Disamping itu juga perlu memberikan “legal standing” kepada masyarakat atau orang per orang atau pemilih untuk melakukan gugatan pilkada ke lembaga PTTUN.

“Dalam setiap tahapan pelaksanaan pilkada, KPU wajib melaporkan kepada DPRD sebagai penyempurnaan dan penegasan pasal 6 UU nomor 8 tahun 2015 serta perlu kordinasi dan komunikasi yang harmonis antara KPU, Bawaslu dan Pemerintahan daerah (gubernur dan DPRD),” tandasnya. (feb)

print

BERITA TERKAIT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *