SINGAPORE – Seminar “Matrilineal Minangkabau Society” akan melengkapi perhelatan “Marantau” Asosiasi Minangkabau Singapore yang digelar di Malay Heritage Centre Auditorium, Sabtu (5/9) nanti. Di samping seminar, juga digelar pertunjukan Giring Giring Bambu persembahan dari Institut Seni Indonesia Kota Padang Panjang Sumatra Barat.
Wakil Ketua Persatuan Minangkabau Singapore, Johan Nasri menyatakan, kegiatan seminar dengan nara sumber Ketua Bundo Kanduang Sumatera Barat. Pertunjukan ini adalah rangkaian kegiatan Marantau yang telah digelar sejak Sabtu (16/8) lalu yang diawali perhelatan Makan Bajamba.
Selain makan bajamba, kegiatan lain yang dilakukan antara lain, gallery display, seminar dan workshop, pertunjukkan budaya serta arena kuliner Minang dan Bazar.
Iven Marantau tersebut berlangsung atas kerja sama sanggar serta Paguyuban Minangkabau dengan Taman Warisan Melayu Singapura yang akan berakhir pada 13 September 2015 nanti.
Sebelumnya, Ketua Persatuan Minangkabau Singapura, Irianto Safari, mengatakan, pameran ini menunjukkan asimilasi orang Minangkabau dengan orang setempat. Tetapi, pada masa yang sama memelihara kebudayaan sendiri, membawa ciri-ciri, yaitu perdagangan, kerja keras dan juga menolong antara satu sama lain.
Anjuran Taman Warisan Melayu dan Persatuan Minangkabau Singapura menampilkan lebih 60 artifak. Sebagiannya merupakan pinjaman peribadi yang masih digunakan sehingga sekarang.
“Baralek Masyarakat Minangkabau Singapura ini diadakan sebagai wujud kepedulian dan partisipasi masyarakat etnik Minangkabau yang telah “marantau” dan mengembangkan keturunannya di Negara Singapura. Lalu, menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Singapura sejak awal kedatangan sampai saat ini,” sebutnya dalam relis kepada padangmedia.com.
Meski sudah lama merantau di Negara Singa itu, masyarakat asal Minangkabau pada umumnya tetap menjaga keunikan budaya dan adat negeri asal dan dijadikan filosofi hidup sehari-hari. Mereka juga menjaga etika dan moral dalam perilaku sebagai warga negara Singapura, di antaranya filosofi ‘Dima bumi dipijak di sinan langik dijunjuang’ (dimana bumi dipijak, di sana langit dijunjung, red).
“Dengan filosofi itu membawa mereka untuk merasakan dan berpandangan bahwa Singapura adalah juga rumah mereka sebagaimana negeri asal nenek moyang mereka,” pungkasnya. (tumpak)
Komentar