
JAKARTA – Setelah melalui proses pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diputuskan menjadi RUU Hak usul prakarsa Komisi VI DPR . Keputusan itu diambil dalam rapat paripurna DPR, Jumat (28/4).
Ketua Panitia Kerja RUU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Azam Azman Natawijana menjelaskan, sedikitnya ada tujuh substansi baru dalam RUU tersebut. Dia menjelaskan, substansi pertama adalah memperluas definisi pelaku usaha agar dapat menjangkau pelaku usaha yang berdomisili hukum di luar wilayah Indonesia.
“Diharapkan, dengan RUU ini dapat menjangkau perilaku anti persaingan dalam platform bisnis baru berbasis digital seperti e-commerce, e-procurement, e-payment, dan bisnis berbasis online lainnya,” terang Azam.
Substansi kedua, tambahnya, adalah mengubah notifikasi merger dari kewajiban untuk memberitahukan setelah merger (post merger notification) menjadi kewajiban pemberitahuan sebelum merger (pre merger notification). Kemudian, ketiga, mengubah besaran sanksi yang selama ini menggunakan nilai nominal besaran tertinggi dalam rupiah menjadi persentase sekurang-kurangnya 5 persen dan setinggi-tingginya 30 persen dari nilai penjualan dalam kurun waktu pelanggaran terjadi.
Selanjutnya, substansi keempat, pengaturan mengenai pengampunan dan/atau pengurangan hukuman (Leniency Program), sebagai strategi yang efektif dalam membongkar kartel dan persaingan usaha yang tidak sehat dalam jangka panjang. Kelima, memunculkan pasal yang mengatur tentang penyalahgunaan posisi tawar yang dominan pada perjanjian kemitraan dimana pengaturan ini bertujuan sebagai instrumen hukum perlindungan pelaksanaan kemitraan yang melibatkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Keenam, dalam upaya meningkatkan efektifitas pelaksanaan fungsi penegakan hukum yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), RUU ini mengatur ketentuan yang memungkinkan KPPU untuk meminta bantuan kepolisian guna menghadirkan pelaku usaha yang tidak kooperatif. Terkait efektifitas putusan KPPU, RUU ini mengatur ketentuan kewenangan KPPU menjatuhkan sanksi administratif berupa rekomendasi pencabutan izin usaha terhadap pelaku usaha yang melanggar larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Ketujuh, dengan amanat yang semakin berat kedepan baik dalam internalisasi nilai-nilai persaingan usaha yang sehat maupun dalam penegakan hukum persaingan usaha, maka dipandang perlu untuk memperkuat kelembagaan KPPU dan menempatkannya dalam sistem ketatanegaraan Bangsa Indonesia sejajar dengan lembaga negara lainnya. Penguatan kelembagaan KPPU ini tentunya harus didukung pula dengan kesekretariatan jenderal yang terintegrasi dengan tata kelola pemerintah sehingga mampu memberikan dukungan pelaksanaan tugas Anggota KPPU baik secara substansi maupun dalam pengelolaan anggaran yang bersumber dari APBN. (feb/*)