Dampak pandemi Covid 19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020, membuat banyak sektor usaha kecil dan menengah terpaksa tutup danĀ merumahkan karyawannya. Namun di antaranya, masih ada yang mencoba bertahan dan berusaha mencari peluang lain agar tetapĀ bergerak.Ā Seperti yang dilakukan Zikrya Afifah Salsabil, seorang tunarungu, pemilik Rumah Mode Zikrya, di Ciputat Tangerang.
Dari luar, rumah di kompleks Nerada itu kelihatan sama seperti rumah-rumah warga lainnya. Rumah ini memiliki halaman ditumbuhi beberapa pohon untuk memberi hawa sejuk dan nyaman. Memasuki pagar, bagian sisi kanan, tampak sebuah banner bertuliskan Rumah Mode Zikrya. Disinilah kegiatan Zikrya sehari-hari.
Perempuan berusia 26 tahun iniĀ memanfaatkan sebuah ruangan depan di rumah orang tuanya sebagai tempat bekerja dan berusaha. Pasangan Amrizal dan Katarina, sengaja menyulapĀ sebagian dari rumahnya untuk ruang kreasi dan berkarya puti sulung mereka. Bila pekerjaan dan pesanannya banyak, Zikrya, akrab dipanggil Uzhi, menggunakan garasi dan sebagian ruang tamu untukĀ bekerja bersama beberapa karyawannya.
Bulan SeptemberĀ 2020 lalu, setelah 6 bulan pandemi Covid 19Ā mengurung seluruh aktifitas termasuk dunia usaha, Uzhi justru berada pada puncak kesibukannya. IaĀ bersama karyawannya, juga tunarungu harus menyiapkan 1000Ā buah masker transparan Ā khusus untuk tunarungu. Jumlah itu merupakan tahapan pertama dari 3000Ā buah maskerĀ yang dipesan oleh Perusahaan Telekomunikasi (Telkom). Ā Masker itu akan dibagikan pihak Telkom kepadaĀ sekolah-sekolah luar biasa di Jakarta.
āAlhamdulillah, kami dipercaya membuat masker transparan, khusus untuk tunarungu. Padahal saya belum pernah membuat masker seperti ini, ā ungkap Uzhi dengan intonasi yang cukup dimengerti kepada padangmedia.comĀ melalui video call baru-baru ini. Ā MeskiĀ kadang bahasaĀ yang terucapĀ tidak sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia yang benar, tapi kalimatnya masih bisa dipahami.
Perempuan kelahiran Padang, 9 November 1994 ini Ā memang tidak seperti manusia normal lainnya. Ia bicaraĀ layaknya tunarungu, menggunakan gerak bibir dan isyarat. Saat berkomunikasi dengan orang lain, ia tak lupa membawa kertas danĀ pena untuk menuliskan sesuatu yang mungkin sulit ditangkap lawan bicaranya.
Sebagai disabilitas, lulusan Sekolah Luar Biasa Santi Rama Jakarta ini sudah dibekali berbagai keterampilan di sekolah Ā agar bisa mandiri.Ā Awalnya, ia berminat dalam modeling. Meski sudah sering memenangkan lomba peragaan busana , tamat SMA tahun 2012 ia memutuskan mendalami disain. Sekolah Mode Budiharjo adalah pilihannya.
āSayaĀ biasa jahit baju, hijab, bandana sekaligus disain. Kadang-kadang, ada pesanan masker, tapi untuk pelengkap busana saja,ā jelas Uzhi yang sudah merintis rumah modenya sejak tahun 2013, saat ia belum menikah. Ia masih ingat pekerjaan besar yang ia lakukan dengan karyawannya pertama kali adalah pesanan rutin Yayasan Losari membuat living style. Yayasan ini merupakan pemasok untuk hotel-hotel di Bali. Sambil jalan ia menerima jasa menjahit busana. Selain menjahit, ia membuat disain. Pekerjaan paling berkesan baginya adalah merancang dan membuat gaun penganten sepupunya.
Urusan jahit menjahit busana, tak ada kata menyerah bagi ibu satu anak ini. Ia akan berusaha sekuat daya untuk menyelesaikan sebuah busana dengan disain sesuai permintaan konsumennya. Kegigihan itu pula membuatnya tekun menyelesaikan sebuah masker transparan. Membuat masker khusus tunarungu itu ia butuh waktu satu minggu hingga final dan disetujui oleh pihak pemesan.
Kenapa beralih menjahit masker? Menurut perempuan yang sudah menghasilkan lebih seratus rancangan busana ini,Ā saat virus Covid 19, banyak orang perlu masker. Ia terinspirasi menjahit beberapa motif masker untuk dijual online. Melalui instagram dan Face Book, ia mempromosikan maskernya pada bulan April. Ternyata banyak yang suka . Sejak itu ia memfokuskan produknya pada masker. Apalagi pesanan untuk busana dan disain sudah jarang. Alasan itu pula ia merumahkanĀ pekerjanya..
āSejak Covid 19, kami tidak ada order jahit. Jadi orang kerja jahit saya suruh istirahat dulu. Lalu saya dan suami mencoba Ā usaha kuliner. Kue, roti dan makanan ringan. Usaha kuliner sebenarnya sudah ada bulan Januari 2020, sebelum Covid. Ā Kemudian Covid datang, suamiĀ nggak masukĀ kerja lagi. Kebetulan suami ahli bikinĀ roti. KamiĀ pikir, jahit tidak jalan, coba-coba kuliner. Hanya beberapa bulan lancar, kemudian order kue juga lesu. Rasanya tidak mungkinĀ terus kuliner. Saya kepikiran buat masker. Ternyata sambutan bagus. Ada pesanan dari orang Tegal, jumlah banyak untuk dijual. Alhamdulillah, sampai sekarang banyak terus,ā kata Uzhi.
Sambil jalan, sejak April, Uzhie menjalani duaĀ kegiatan usaha sekaligus yaitu kuliner dan masker. Namun, melihat peluang masker lebih besar, Uzhi memutuskan fokus pada masker. āKalau ada pesan roti dan kue, tetap diterima,ā jelas Uzhi yang menamakan usaha kulinernya Dapur Cinta Tuli. .
Uzhi bersyukur, dalam masa pandemiĀ Covid 19, dimana banyak usaha yang tutup, pesanan maskernya terus mengalir. Setiap hari masih terdengar deru mesin jahit dari ruang kerjanya. Selalu adaĀ jalan memuluskan usahanya. Ia mengisahkan suatu kejadian yang menurutnya sangat memberi manfaat. Ia menerima bantuan UMKM melalui Pegadaian. Padahal ia sama sekali tak pernah berpikir akan menerima bantuan itu.
Seperti dituturkan Uzhi, bantuan itu diterima oleh Rian, suaminya.Ā Saat sebelum Covid 19, suaminyaĀ aktif bekerja pada salah satuĀ hotel milik Pemda DKI di Ancol. Rian mulai menabung emas di Pegadaian. DalamĀ lembaran isian data nasabah, Rian diminta mengisi alasannya untuk apa menabung. Rian menuliskan untuk modal usaha di Rumah Mode Zikrya. Ia tidak tahu ternyata isian itu yang memberi keberuntungan padanya. Bulan Agustus 2020, ia dihubungiĀ pihak Pegadaian, sebagai salah satu nasabah yang mendapatkan bantuan UMKM sejumlah Rp2,4 juta dari pemerintah..
āAlhamdulillah. Bantuan itu sangat bermanfaat untuk menambah dana beli bahan.Ā Untuk jahit masker jumlah besar, kami perlu uang banyak. Jadi Ā uang itu benar-benar berguna,ā ujarnya.
Menurut Uzhi, bantuan Pegadaian itu ia pakai untuk membeli bahan membuat masker transparan pesanan Telkom.Ā Tahap pertama ia harus menyiapkan 1000 buah pada bulan September . Kenapa perusahaan sebesar itu percaya padanya? Padahal sebelumnya, Uzhi tidak pernah menjahit masker transparan.Ā Adalah Adelia , teman sekolahnya di Santi Rama dulu yang menjadi jembatannya. Ā Adelia dan suaminya, dalam masa pandemi Covid 19,Ā mencoba berjualan masker. Mereka memesan masker pada Uzhie. Melihat masker hasil jahitan Uzhie, suami Adelia tertarik. āKatanya masker saya bagus, Jahitannya rapi. Mereka banyak pesan untuk dijual,ā ucapnya.
Uzhi tidak tahu, ternyataĀ Adelia memiliki langganan di Telkom. Mereka tertarik dan menawarkanĀ membuat masker transparan untuk tunarungu. āTapi mereka mau lihat dulu hasil jahit masker transparan saya. Langsung saya buat. Memang agak rumit, karena pada bagian bibir harus terbuka dan transparan. Bagi tunarungu, selain bahasa isyarat, dalam berkomunikasi, mereka perlu Ā melihat gerak bibir. Jadi mulut atau bagian bibir harus kelihatan.Ā Beberapa kali saya disuruh perbaiki. AkhirnyaĀ mereka yakinĀ dan menyerahkan pesanan pada Rumah Mode Zikrya. Saya senang sekali,ā lanjutnya.
Dengan bertambahnya pesanan, Uzhi kembali mempekerjakan beberapa tunarungu untuk membantunya. Memang, sejak awal ia merintis usaha, Uzhie berkomitmen untuk merangkul para tunarungu sebagai timnya. Ia pernah bermimpi, suatu saat nanti, apapun usaha yang ia kembangkan, seluruh pekerjanya adalah para tuli. MenurutUzhie, tak banyak peluang bekerja bagi kaum disabilitas sepertinya. Karena itu ia terpacu dan terus bersemangat memajukan usahanya agar lebih banyak memberi peluang kerja untuk teman-temannya. āMudah-mudahan saya bisa banyak bantu teman,ā harapnya.
Jiwa solidaritas yang dimiliki Uzhie bukan serta merta muncul begitu saja, Sejak kecil ia sudah memiliki rasa sosial yang tinggi. Ia mudah merasa hiba. Melihat orang miskin di pinggir jalan, ia bisa menangis tersedu-sedu. Meski begitu, ia tetap membedakan rasa simpati dengan naluri bisnis. Baginya duniaĀ bisnis adalah bisnis. Tapi dalam ruang lain dibalik hatinya, masih terjaga ungkapan simpati terhadap hal-halĀ menyangkut kemanusiaan.Ā .
Masa kecil Uzhi dihabiskan di Padang.Ā Ketika usia kanak-kanak, Ā Uzhi sudah dibiasakan dengan dunia luar agar terlatih berkomunikasi. Ia sering diajak Umi dan Abinya ke tempat-tempat umum. SelainĀ melatih kepekaan terhadap lingkungan, orang tuanya berusaha menanamkan kepercayaan diri bagi putriya sebagai bekal menjalani kehidupan.
Ketika usia sekolah, ayahnya pindah tugas ke Pekanbaru. Mereka sekeluarga ikut pindah. Disana, Rina dan suaminya memasukkan Uzhi ke Pesantren milik saudara mereka. Menurut mereka, Uzhi harus masuk sekolah normal agarĀ lebih berkembang. Syukurlah ada sekolah umum yang mau menerima anak berkebutuhan khusus. Memang tak banyak sekolah umum yang bersedia menerima anak-anak berkebutuhan khusus.
Entah kenapa, di sekolah itu, apa yang ia miliki selalu menarik perhatian bagi teman-temannya. Pernah sekali waktu, ia membawa stiker bergambar ke sekolah. Kebetulan stiker itu dibelikan Abinya saat mereka ke Mall. āGambarnya lucu-lucu. Ternyata teman saya banyak yang suka. Saya Ā jual saja pada Ā mereka. Banyak yang beli. Waktu itu satu stiker saya jual 100 rupiah. Kalau gambarnya agak besar, harganya 200, 300 dan 500 rupiah. Padahal satu lembar itu cuma dua ribu rupiah. Satu lembar itu isinya lebih dari 10 Ā gambar. Jadi saya untung,ā katanya mengingat asal mulanya ia berjualan.
Tak hanya jualan stiker,Ā masih SD itu juga, ia pernah membuat pustaka mini di rumahnya. Buku-buku milik keluarganya ia susun seperti pustaka. Kebetulan rumah mereka tak jauh dari sekolah . Jadi teman-temannya suka main ke rumah sepulang sekolah. Melihat koleksi pustaka buatan Uzhi teman-temannya tertarik meminjam. Ia memasang tarif untuk pinjaman itu, satu buku lima ratus rupiah selama 3 hari. Meski tak mahal, tetapi ia sudah mendapatkan uang dari hal-hal yang semula tak bernilai guna.
Meski dalam kesehariannya Uzhi mengaku banyak Ā teman membantunya, tapi diantaranya ada juga yang suka usil mengejeknya. āMereka mengatakan saya bisu. Kadang-kadang mereka mengolok-olok, Ā hei bisu, bisu…. Saya dihina-hina,ā katanya.Ā Kala itu ia hanya bisa menangis. Setiba di rumah matanya masih basah. Hanya kepada Umilah tempatnya menumpahkan air mata.
Air mata Uzhie bagaikan Ā belati yang menusukĀ ke hulu hati sang ibu. Karena itulah,Ā ibunyaĀ rela melepaskan pekerjaan demi terus memberi semangat dan mendampinginya. Ā Dorongan itulah yang membuat Uzhi melangkah dengan pasti menuju masa depannya. Meski terlahir sebagai anak berkebutuhan khusus, ayah dan ibunya tak ingin kehidupan anaknya berhenti dalam kesia-siaan. Ā Kekuangan UzhiĀ dijadikannya sebagai motivasi untuk meraih prestasi. Hidup yang semula menurut banyak orang akan ia tempuh dalam dunia yang tertutup, ternyata bisa ia lakoni dengan penuh warna hingga menjadikan langkahnya terus bergerak tanpa batas. Ia juga telah memberi manfaat buat lingkungannya sesama para tuli.
Pandemi Covid 19 belum usai. Entah kapan akan berakhir tak sesiapa yang tahu. Uzhi yakin, kondisi dunia usaha akan membaik bila terus berusaha. Seperti yang ia lakukan saat ini. SetelahĀ pesanan dari Telkom, ia bersiap-siap mengerjakan pesanan Grab, masih berupa masker transparan. Ada lagi Ruang MendengarĀ memesan masker biasa tetapi ditambah label bersulam. Bahkan beberapa hari lalu ia jugaĀ menyepakati pembuatan masker dalam jumlah besar dengan seorang penjual masker online. āMereka datang setelah lihat di media sosial. Biasanya mereka pesan masker di Bandung. Ketika lihat hasil masker di sini, mereka akan pesan dengan kita. Katanya kalau di Bandung jauh dan agak repot untuk kirim,ā jelas Uzhi.
Kesibukan di Rumah Mode Zikrya tak pernah berhenti. Meski mereka bekerja tanpa mendengar suara, namun bagi mereka, dunia tak pernah sunyi. Mereka tetap merasakan ramainya dunia dengan berbagai aktifitasnya. Pandemi Covid 19 tak sempat mengurungĀ langkah mereka. (nita indrawati)
Komentar