
PADANG – Warniati (55) menatap kosong ke arah laut tenang dari tanah bekas rumahnya di Pasar Laban, Kelurahan Bungus Selatan, Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kota Padang. Meski terlihat tenang, tapi laut indah yang agak menjorok ke daratan itu sekali sekali mengamuk membawa ombaknya menghantam puluhan rumah yang berada di pesisir pantai. Tak heran, banyak sudut rumah warga yang terlihat ‘sompong’ dihantam abrasi.
Begitupun rumah Warni, seorang janda yang tak memiliki anak. Beberapa tahun sudut rumahnya terkikis oleh hempasan ombak Pantai Carolin yang indah. Rumahnya memang terpaut hanya beberapa meter di samping objek wisata Pantai Carolin.
Namun, bukan hempasan ombak yang membuat rumah yang dibangun di atas tanah yang dibelinya sendiri itu hancur. Melainkan banjir bandang yang datang secara tiba-tiba dari arah Bukik Tigo pada 16 Juni 2016 silam. Saat itu, ia ingat hujan tak henti-hentinya turun sejak siang harinya. Dan ternyata pada malamnya, air deras membawa lumpur mengalir ke arah rumahnya dan rumah warga sekitar.
“Saat itu, saya sedang memasak untuk mempersiapkan makan sahur. Saya ingat kejadiannya tanggal 10 Ramadhan tahun 2016,” katanya saat ditemui padangmedia.com, Minggu (25/11).
Ia bercerita, air dari bukit itu dengan deras mengalir di samping kiri rumahnya dan secara perlahan membawa serta tiang-tiang rumah semi permanennya hingga roboh sama sekali. Warni saat itu mengungsi ke rumah saudaranya yang tak jauh dari lokasi.
Nasib apes dialami Warni. Peristiwa itu membuat hanya rumahnya sendiri yang roboh. Sementara, rumah-rumah di sekitarnya cuma mengalami rusak ringan. Iapun kehilangan tempat tinggal sekaligus tempat usaha, karena sebelumnya ia berjualan kecil-kecilan di rumah yang sekaligus dijadikan warung.
Pasca kejadian itu, ia mengaku pihak kelurahan dan beberapa pihak lain pernah datang untuk mengambil foto-fotonya saja. Namun, sekadar foto. Hingga saat ini, tak ada bantuan sama sekali yang diterimanya.
Saat ditemui Minggu (25/11), seperti tak ada bekas sama sekali dari bangunan rumah Warni, kecuali pondasi yang sama datar dengan tanah. “Sebenarnya kemarin masih ada tersisa warung yang sudah rusak. Tanahnya juga tidak datar seperti sekarang. Tapi, waktu ada proyek pemasangan batu grip tahun lalu, mereka minta izin warung saya dirobohkan, jadi saya izinkan. Sekaligus tanah di atas bekas rumah didatarkan karena jadi tempat lewat mobil-mobil proyek,” katanya.
Selama dua tahun setelah tempat tinggalnya hancur, ia terpaksa tinggal menumpang di rumah saudara-saudaranya. Yang paling sering di rumah ‘gadang’ (rumah orang tuanya). Warni tinggal di sana bersama tiga keluarga lainnya dengan jumlah lebih dari sepuluh orang. Selama itu pula, ia hanya membantu-bantu kakak dan saudara-saudaranya yang lain.
Kadang jenuh, ia pergi pula ke tempat saudara lainnya selama beberapa bulan. “Seperti itulah, saya sebenarnya sudah lelah seperti ini. Sudah lelah juga berharap bantuan. Tapi, saya juga tak ingin pergi dari sini,” katanya bernada putus asa.
Warni berharap suatu saat bisa membangun kembali rumahnya sehingga bisa hidup dengan nyaman. Ia juga berharap Pemerintah Kota Padang bisa memberikan perhatian pada nasibnya.
Adam (64), tetangga Warni mengaku prihatin dengan kondisi tetangganya itu. “Ia sangat patut mendapat bantuan. Tapi entah kenapa, tak pernah ada bantuan. Bantuan makanan pun rasanya tak pernah ada,” kata Adam.
Rumah Adam sendiri juga sebelumnya rusak sedang. Tapi, bukan karena banjir bandang, melainkan karena abrasi. Ia memperbaiki sendiri rumahnya dengan dana pribadi.
Beberapa rumah tetangganya juga rusak akibat abrasi. Ia menunjuk sudut-sudut belakang empat rumah tetangganya. Ada yang dindingnya bolong, ada yang bagian ruangan tinggal tonggaknya saja. Sejauh ini, katanya, belum ada bantuan dari pemerintah bagi warga setempat.
“Ombak di sini kadang ada waktu-waktunya membesar. Kadang tiga kali setahun. Tapi, kadang dalam setahun itu tak ada. Tapi sekarang, warga mulai merasa aman dengan adanya pembangunan batu grip. Setidaknya bisa memecah ombak dan tidak langsung menghantam rumah warga,” katanya. (rin)
Komentar