Sylvia Plath
Sumber: https://www.laboratoripoesia.it/sylvia-plath-usa/
“Poppies in July”
Oleh: Sylvia Plath
Little poppies, little hell flames,
Do you do no harm?
You flicker. I cannot touch you.
I put my hands among the flames. Nothing burns
And it exhausts me to watch you
Flickering like that, wrinkly and clear red, like the skin of a mouth.
A mouth just bloodied.
Little bloody skirts!
There are fumes I cannot touch.
Where are your opiates, your nauseous capsules?
If I could bleed, or sleep!
If my mouth could marry a hurt like that!
Or your liquors seep to me, in this glass capsule,
Dulling and stilling.
But colorless. Colorless.
“Poppies in July” merupakan sebuah puisi yang di tulis oleh seorang penyair asal Amerika Serikat yang bernama Sylvia Plath pada bulan Juli 1962 beberapa bulan sebelum kematiannya. Puisi yang bertemakan kehampaan dan keputusasaan ini mencoba memberikan kita sebuah gambaran tentang betapa hancurnya kehidupan seorang Sylvia Plath setelah menyadari bahwa pernikahannya dengan Ted Hughes sudah berada di ujung tanduk.
Ted Hughes yang juga merupakan seorang penyair asal inggris menjadi faktor utama atas tragedi yang terjadi didalam kehidupan Sylvia Plath yang pada akhirnya membuat ia harus mengakhiri hidupnya pada tanggal 12 Februari 1963
Bermula pada awal tahun 1962. Ted Hughes diketahui bersalingkuh dengan seorang wanita yang bernama Assia Wevill, istri dari teman mereka David Wevill yang juga seorang penyair asal Kanada. Padahal saat itu ia sudah memiliki dua orang anak dari pernikahannya dengan Sylvia Plath. Mengetahui hal tersebut Sylvia Plath yang memiliki riwayat depresi mulai merasakan kehancuran yang begitu mendalam. Pada Juli 1962 ia menulis “Poppies in July” sebagai bentuk representatif dari keinginan Sylvia Plath untuk mengakhiri hidupnya.
Ia memilih bunga Poppy sebagai simbol utama pada puisi tersebut sehingga dalam beberapa Stanza terlihat dengan jelas bahwa Plath sudah lelah dengan kehidupannya dan sangat ingin mengakhiri ini semua.
Pada stanza kedua yang berbunyi “You flicker. I cannot touch you.I put my hands among the flames. Nothing burns” mencerminkan kehampaan dalam diri Sylvia. Ia seolah-olah menganggap dirinya sudah tidak ada sehingga ia tidak mampu terbakar disaat ia meletakkan tangannya diantara nyala api. Selanjutnya pada stanza kelima yang berbunyi “There are fumes I cannot touch.Where are your opiates, your nauseous capsules?” ia sudah tidak bisa lagi merasakan efek opium (zat yang digunakan untuk menghilangkan rasa sakit) pada bunga Poppy yang menunjukkan betapa dalamnya rasa sakit yang ia alami pada saat itu hingga efek opium pun tak mampu meredakannya. Kemudian pada baris selanjutnya dalam stanza yang sama Sylvia Plath bertanya “where are your opiates,” menunjukkan keinginan yang kuat pada diri Sylvia Plath untuk mengakhiri ini semua. Namun pada stanza ke-8 Sylvia Plath mengulang kata “But colorless, colorless” stanza sederhana yang mencoba menyimpulkan keseluruhannya bahwa semua yang ia lakukan untuk lari dari penderitaan tersebut tidak ada gunanya.
Pada bulan September 1962, Sylvia Plath akhirnya memilih untuk mengakhiri pernikahannya dengan Ted Hughes dan merawat kedua anak mereka sendirian. Pada bulan ini Sylvia Plath mulai mengalami permasalahan ekonomi dan mulai kesulitan merawat kedua anaknya tanpa sosok seorang suami. Meskipun pada pada masa itu ia masih menghasilkan puisi-puisi terbaiknya, di antaranya adalah “Daddy”, “Lady Lazarus”, dan “Edge” tetapi kondisi mentalnya terus memburuk ia mulai menunjukkan gejala depresi berat, termasuk insomnia, kehilangan berat badan drastis, dan kesulitan mengurus anak-anaknya.
Pada 5 Februari 1963 ia menulis puisi terakhirnya berjudul “Edge”, puisi ini seolah-olah menjadi penyempurnaan niat Sylvia Plath untuk mengakhiri hidupnya. Pada sebuah baris dalam puisi ini yang berbunyi “Her dead body wears the smile of accomplishment” mencerminkan bahwa kematian akan menjadi cara terbaik baginya untuk mengakhiri seluruh penderitaannya, pada puisi ini ia menyatakan bahwa senyuman yang selama ini hilang akan muncul pada sebuah jenazah. Kemudian pada baris yang lain berbunyi “One at each little pitcher of milk, now empty.” Kalimat ini menggambarkan ketidakmampuan Sylvia Plath menjadi seorang ibu dan tentunya ini tertuju kepada kedua orang anaknya. Hal ini juga menjadi simbol yang menunjukkan bahwa Sylvia Plath sangat menyayangi kedua orang anaknya. Namun, keinginannya untuk mengakhiri hidup lebih besar dari itu semua yang menyebabkan ia tetap memilih untuk mengakhiri hidupnya 6 hari setelah ia menulis puisi tersebut.
Kematiannya Sylvia Plath
Sumber: https://en.uncyclopedia.co/wiki/Sylvia_Plath
Pada 8 Februari 1963, kondisinya semakin memburuk ia hidup hanya dengan dua anak kecil yang harus diasuhnya tanpa dukungan dari siapapun. Pada titik ini Plath benar-benar hidup tanpa harapan, bahkan sebagian dari teman-temannya yang mengetahui kondisi Plath tidak dapat membantu banyak mengenai permalasahannya ini. Hingga datang seorang dokter yang bermaksud ingin mengunjunginya, setelah melihat kondisi Plath dokter memberikannya antidepresan tapi efeknya belum terlihat, menyadari kondisi Plath semakin memburuk dokter tersebut mengatur seorang pengasuh untuk merawat kedua anak Plath.
Pada 11 Februari sekitar pukul 04:30 hingga 05:00 pagi, Plath yang saat itu berada di apartemennya yang terletak di 23 Fitzroy Road, London mulai melakukan percobaan aksi bunuh diri setelah iya menyiapkan sarapan terakhir untuk kedua anaknya. Pada pagi itu kedua anak Plath yang bernama Frieda (2 tahun) dan Nicholas (1 tahun) masih tertidur pulas dikamarnya, Plath yang berniat melakukan bunuh diri dengan menghirup gas beracun karbon monoksida mulai menyumbat beberapa aliran udara ke kamar anaknya agar nanti gas-gas tersebut tidak sampai mengenai anaknya. Setelah persiapan itu ia langsung mrnyalakan oven gas di dapur tanpa menyalakan apinya, dan seketika gas karbon monoksida memenuhi ruangan itu. Ia meletakkan kepalanya kedalam oven tersebut menyebabkan keracunan gas karbon monoksida dan akhirnya membunuhnya.
Sekitar pukul 09:00 pagi, pengasuh yang awalnya diminta untuk merawat kedua anak Plath datang mengunjunginya. Namun, setelah mencoba memanggil dari luar sang pengasuh tersebut tidak mendapatkan jawaban apapun dari dalam apartemen Plath. Menyadari ada hal yang aneh ia pun meminta seorang pekerja untuk masuk memeriksa ke dalam, setelah berhasil masuk mereka menyusuri setiap ruangan di apartemen tersebut untuk mencari keberadaan Plath. Akhirnya mereka menemukan Plath sudah tidak bernyawa dengan kepala yang masih berada di dalam oven gas di dapurnya. Anak-anaknya yang berada di dalam kamar, selamat tanpa luka karena ibunya telah menutup pintu kamar mereka dengan baik, dan untuk Ted Hughes ia terkejut setelah mendengar kabar kematian mantan istrinya tersebut.
Sylvia Plath tidak hanya seorang penyair ia juga seorang novelis yang sudah menerbitkan beberapa buku, salah satunya berjudul “The Bell Jar” sebuah novel autobiografi yang menceritakan perjuangannya melawan depresi yang bermula pada usia 20 tahun. Pada saat itu ia juga sudah mencoba melakukan aksi bunuh diri dengan cara menelan 40 butir pil tidur milik ibunya namun gagal, ia langsung dilarikan ke rumah sakit dan mendapatkan terapi elektrokonvulsif untuk membantu nya pulih kembali. Akhirnya hal itu terulang lagi pada usianya yang ke-31 tahun (1932-1963) dengan cara yang berbeda tapi masih dengan faktor yang sama, yaitu karena depresi.
Padang, April 2025
Tulisan ini merupakan tugas kuliah karya Muhammad Imam Mustafa
Mahasiswa Sastra Inggris UNAND