PADANG – Permasalahan terkait pengurusan izin kapal 30 Gross Ton (30GT) sangat dirasakan para nelayan bagan di Pasia Nan Tigo Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar). Tidak adanya kejelasan tentang pengurusan izin kapal 30 GT ini membuat nelayan merasa tidak aman melaut karena sering ditangkap aparat terkait.
Selain itu, adanya dualisme perizinan yang mesti dimiliki oleh nelayan-nelayan pemilik bagan maupun para Anak Buah Kapal (ABK) sebagai tenaga operasional bangan. Untuk pengurusan perizinan nelayan bagan harus melalui Dinas Kelautan dan Perikanan dan Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP). Hal itu menjadi permasalahan yang sangat dirasakan para nelayan Bagan karena dalam melakukan pengurusan, instansi terkait tidak pernah dapat memberikan kepastian yang jelas.
Hal itu disampaikan Azwid Hamid, Ketua Kelompok Nelayan Koto Tangah (KNKT), Kamis (31/3) di Padang mewakili rekan-rekannya yang lain. Ia menjelaskan, selama ini sudah sering dilakukan pertemuan antara kelompok nelayan Bagan dengan instansi terkait, yakni dengan Pol Airud, Keamanan Laut, Marinir, Syahbandar, KSOP, DKP serta Humas Mapolda Sumbar.
Para nelayan Bagan Pasia Nan Tigo diminta untuk urus perizinan kapal menjelang ada penyelesaian lainnya. Nelayan pun mengikuti hal tersebut karena dari DKP sendiri menyatakan akan mengeluarkan surat rekomendasi menjelang selesainya pengurusan izin lainnya.
Kemudian, dalam pertemuan dan sosialisasi yang dilakukan saat itu disepakati bahwa instansi terkait tidak akan menangkap. Dalam artian, nelayan disuruh pandai-pandai saja dalam melaut. Namun kenyataannya, KSOP tetap melakukan penangkapan terhadap nelayan Bagan pada 16 Maret 2016 lalu.
“Hal itu sangat disayangkan karena pada saat itu petinggi KSOP, Piter dan Gamal, sama-sama sepakat ketika laksanakan sosialisasi di humas Mapolda Sumbar,” ujarnya.
Hal yang lebih disayangkan lagi, katanya, setelah ada surat rekomendasi yang dikeluarkan DKP dan para nelayan ingin mengambil surat ukur PAS yang asli atau permanen, pihak KSOP menyatakan para nelayan harus mengurus perizinan yang baru lagi. Itupun harus melalui email.
“Kami nelayan tidak menerima hal itu. Apa artinya surat rekomendasi pengurusan perizinan yang telah kami buat sebelumya,” kata Azwid.
Dikatakan, dalam pengurusan surat perizinan di KSOP yang terdiri dari surat izin PAS tahunan, layak laut, PAS besar, surat ukur dan Gross AT, para nelayan dikenakan biaya hingga Rp7 juta. Namun, biaya itu tidak ada penjelasan secara detailnya, seperti dipatok seenaknya saja. Bahkan, persyaratan perizinan dari KSOP untuk pengukuran kapal, nelayan tidak paham maksud persyaratan tersebut.
“KSOP meminta rancangan bangunan kapal pada nelayan, sementara kapal-kapal yang ada sekarang sudah ada sejak lama. Setahu saya, rancangan bangunan itu adalah sesuatu yang baru akan dibuat. Dari pihak KSOP dapat membantu membuatkan rancangan bangunan kapal itu dan itu tentu juga ada hitung-hitunganan nominal tersendiri,” tambahnya.
Lebih jauh dikatakan, Kelompok Nelayan Koto Tangah (KNKT) meminta kejelasan kepengurusan surat izin. Kemudian, nelayan juga minta kejelasan tentang bagan. Seandainya bagan tidak diizinkan, bagaimana solusinya untuk nelayan bagan.
“Kami berharap pemerintah bisa mencarikan solusinya. Karena ini bukan saja nelayan yang akan dirugikan, namun para pedagang ikan pun akan terbawa,” tambahnya.
Sementara itu, keberadaan nelayan bagan yang ada di Aiabangek, Tiku, Pariaman, Gaung, Bungus, Cerocok sampai ke Painan, terdapat sekitar 400 kapal bagan. Jika untuk satu kapal bagan saja terdapat 15 orang nelayan ditambah beberapa anggota keluarga yang mereka ditanggung, maka ada sekitar 20.000 lebih keluarga yang akan bergantung hidup dari sana. Ditambah lagi keluarga para pedagang ikan. Akan terjadi tingkat kemiskinan yang besar di Sumbar dan daerah lainnya.
“Kami berharap pemerintah arif dan bijaksana menyikapai hal ini. Jika memang bagan tak layak, tolong carikan kami kapal yang layak. Silahkan saja bom bagan kami setelah ada penggantinya dari pemerintah,” ungkap Ketua nelayan pasia nantigo tersebut. (baim)