Parkir dan Toilet Persoalan Krusial di Kawasan Wisata Pantai Padang

Pantai Padang.
Pantai Padang.

PADANG= Kawasan Wisata Pantai Padang yang kini semakin meluas sampai ke Danau Cimpago memang menjadi magnit baru pariwisata Padang. Tetapi sejumlah masalah mengendala untuk kemajuan kawasan itu, antara lain soal pemalakan, parkir, kebersihan dan daftar harga makanan yang belum standar.

Badan Promosi Paeriwisata Daerah (BBPD) Kota Padang yang sudah dikukuhkan oleh Walikota Padang tahun 2015, akhir pekan lalu mengadakan serangkaian pertemuan dengan sejumlah pedagang di Pantai Padang.

Dalam siaran persnya yg diterima padangmedia.com, Minggu (10/1), BPPD Padang mendapatkan kenyataan bahwa sekalipun kawasan tenda ceper sudah direlokasi ke 110 kios di Lapau Danau Cimpago tapi masih banyak menyisakan persoalan.

“Yang paling penting adalah soalparkir. Perlu penanganan serius oleh Pemko Padang. Parkir yang yang membuat pengunjung merasa diperas itu malah merugikan pedagang Lapau Panjang, sebab pengunjung jadi enggan mampir lantaran baru saja berhenti sudah diminta parkir oleh juru parkir yang tidak jelas identitasnya,” kata Ketua BPPD Padang, Arlan.

Salah satu contoh kasus adalah peristiwa yang dialami Jejeng, GM Radio Arbes Padang. Keluhan yang sempat ia sampaikan melalui media sosial dan ditanggapi banyak orang berdasarkan  pengalamannya ketika mengunjungi Pantai Padang beberapa hari lalu. Menurut Jejeng  ia membawa  tamu dari Jakarta untuk santai melihat sunset di Pantai Padang yang kini mulai tersohor indahnya itu. Tamunya teman lama yang sedang melakukan survey hendak bebisnis garment di Padang. “Mereka memuji keindahan Pantai Padang, areanya sudah mulai rapi dibandingkan 2 tahun lalu katanya. Tidak ada lagi ‘tenda ceper’ yang sempat bikin heboh. Namun untuk penempatan pedagang masih belum teratur, masih ada yang jualan di trotoar dan bahu jalan, sampah masih ada yang dibuang sembarangan dan tidak ada yang memungut atau menegur,” kata Jejeng mengutip temannya itu.

Ia  melanjutkan ceritanya, ketika sang teman dan tamunya parkir persis dekat taman monumen IORA. Baru turun mobil sudah diminta uang parkir Rp10.000,-  Tak ingin bermasalah, ia membayarparkir yang diminta petugasnya.  Setelah menikmati sunset bersama jagung dan pisang bakar ia dan tamunya langsung balik ke mobil. Begitu mobil mau mundur ada petugas parkir yang memandu, eh, dia minta uang parkir lagi Rp5.000,-.
“Lho, kan tadi sudah dibayar?”
“Sama siapa pak, itu bukan petugas parkir disini”.

Sepanjang penelusuran BPPD Padang, di kawasan wisata itu malah ada juru parkir berusia 8-9 tahun dengan menggunakan kokarde orang dewasa.

Apakah dengan berada di tempat baru di LPC, eks pedagang tenda ceper sudah merasa nyaman sekarang? “Yang jelas omset jauh berkurang, biasanya sampai Rp300 ribu sehari, kini malah ada yang di bawah Rp100 sehari,” kata Deri (51) salah seorang pedagang eks tenda ceper. Sebenarnya istri Deri lah yang berjualan di LPC itu, tapi ia termasuk tokoh yang memiliki perhatian kepada perbaikan kawasan Pantai Padang.
“Kami sesungguhnya ingin menjadi baik, siapa yang ingin mendapatkan rezeki secara tidak halal?” kata dia.
Lalu kenapa omset menurun?

Menurut penuturan Iyun, terlalu banyak rintangannya. Terutama di dekat jety atau sekitar di depan danau, parkir yang tak terkendali membuat warung mereka lengang. Akibat pendatang yang baru tiba di sana sudah diminta bea parkir, orang jadi malas mampir. “Dan kabar itu dari mulut ke mulut sampai ke telinga konsumen, ya akhirnya mereka tidak jadi mampir, cukup foto-foto di atas mobil saja,” kata Iyun.

Pak Bije seorang pedagang lain punya cerita lain lagi kepada tim BPPD. Warungnya yang jauh dari toilet jadi tidak menarik pengunjung. Yang dekat toilet justru ramai. Mestinya kata Bije, tiap lima cafe ada satu unit toilet.

Ketika tim BPPD diajak keliling sampai ke belakang LPC, nyatanya memang tak ada toilet. Toilet yang ada hanya di tengah bangunan panjang itu, dan itu antreannya panjang.

Yang lebih tidak sehat lagi, seluruhnya 110 kios itu tidak punya drainase. Entah kenapa pihak yang membangun tidak menyediakan drainase. “Kalau kami bangun sendiri, tidak pula diizinkan, jadi walhasil kadang tumpukan sisa makanan jadi menimbulkan bau tak sedap, ini tentu jadi petaka bagi bisnis wisata,” kata para pedagang.

Kenyataannya memang demikian seluruhnya kios LPC itu tanpa drainase. Sedang membuang sisa makanan ke danau cimpago tidak dibolehkan pula. Lalu seluruh bangunan itu tidak diizinkan oleh Pemko Padang untuk diberi pintu oleh pengguna. Alasan Pemko agar transparan, sehingga tidak ada tamu yang berbuat tak senonoh. Nah, sejak kios itu dipakai, sudah berkali-kali pedagang terpekik kehilangan barang jualan mereka karena tidak ada pintu.

Agar transparan? Ooo…tunggu dulu. Di lantai atas LPC itu malah tenda ceper sudah terpasang. Sejak magrib, tidak ada yang tahu apa saja yang dilakukan pasangan-pasangan di lantai atas LPC itu. Beberapa kios diantaranya memanfaatkan bagian belakang yang menghadap ke danau cimpago sebagai tempat duduk. Tapi tunggu dulu, lampunya sengaja dibuat sangat redup.

Para pengurus Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Kota Padang yang sengaja turun ke Pantai Padang untuk mendengar apa saja keluhan dan masalah di Kawasan Wisata Pantai Padang itu menemui sejumlah pedagang pekan silam. Diketuai oleh Arlan, tim itu terdiri dari Ifra, Elvis, Sari Lenggogeni, Rafi Tanjung, Eko Yanche Edrie dan Joni Mardianto

Kesimpulan dari dialog dengan mereka diperoleh fakta-fakta bahwa yang paling urgen di Pantai Padang adalah parkir, baru soal harga dan kebersihan. Rupanya sejak zaman walikota Fauzi Bahar soal parkir itu diserahkan kepada Kodim. Oleh Kodim lalu ke Koramil Padang Barat. Tapi praktiknya, hanya pemuda-pemuda tanggung saja yang menjadi tukang parkir. “Kalau memang diserahkan ke Kodim kan bagus, tak perlu ada yang terpekik parkir sampai Rp10 ribu, jadi ini harus ditinjau ulang lagi oleh Walikota Padang, bagaimana pengelolaan parkir yang lebih tertib dan manusiawi. Sebab parkir rupanya berkaitan dengan nasib para pedagang. Kalau orang malas parkir karena dipalak, praktis yang dagang juga juga sepi. Kalau sepi, harga terpaksa dikatrol sesuka hati. Kalau dikatrol, pengunjung mengumpat dan seterusnya, ini tak bakal selesai kalau mata rantainya tak diputus,” kata Arlan. (rel)

print

BERITA TERKAIT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *