Ormas Pekat IB Mentawai Adukan Dugaan Perusakan Lingkungan oleh Nasara Resort

Ketua DPD Pekat IB Mentawai melaporkan ke salah satu OPD Provinsi Sumbar. (ers)

MENTAWAI – Ormas DPD Pekat  IB Kepulauan Mentawai mengadukan hasil temuan dugaan perusakan lingkungan berupa eksploitasi pasir dan penebangan mangrove oleh Nasara Resort yang terletak di Putotougat Desa Tuapeijat Kecamatan Sipora Utara.

Pengaduan tersebut dilakukan pada 23 April 2018 kepada sejumlah instansi di Pemprov Sumbar. Di antaranya di Kantor Gubernur Sumbar, Ketua DPRD Provinsi Sumbar, Dinas Kehutanan Provinsi Sumbar dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumbar.

Ketua DPD Pekat-IB Mentawai, Suharman kepada padangmedia.com, Kamis (26/4) menyebutkan, pengaduan yang disampaikan ke Provinsi Sumbar karena tidak adanya respon dari pemerintah setempat. Karena, sebelumnya pemberitahuan secara lisan sudah pernah disampaikan ke pihak Kesbangpol, Sat Pol PP, Dinas Lingkungan Hidup Mentawai dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pemkab Mentawai, terkait dugaan adanya perusakan lingkungan oleh Nasara Resort. Namun, pihak pemerintah kabupaten Mentawai tak ada respon sedikitpun.

“Mau jadi apa negeri kita kalau persoalan ini masih didiam-diamkan, sementara di dalam peraturan sudah ada yang mengatur,” kata Suharman.

Upaya melakukan pengaduan ke tingkat Provinsi Sumbar, lanjut Suharman, agar tidak ada lagi pembiaran serta melangkahi peraturan yang ada di Indonesia. Termasuk peraturan daerah sendiri dan pemilik saham yang akan melakukan investasi harus mematuhi aturan. Namun, apabila pengaduan tersebut tidak ada juga repon dari provinsi, maka pengaduan akan dilanjutkan ke tingkat Kementerian terkait.

Ia mengatakan, laporan pengaduan yang disampaikan ke provinsi Sumbar semuanya berdasarkan barang bukti lengkap. Sebelumnya, Ormas DPD Pekat-IB Kepulauan Mentawai juga mendapatkan adanya aktivitas eksploitasi pasir di Nasara Resort dengan menggunakan alat berat jenis eskavator untuk digunakan mendatarkan lokasi hingga menyisakan kolam diperkirakan mencapai 70 meter dengan kedalaman sekitar 5 meter.

“Pada prinsipnya, Ormas Pekat-IB mendukung program pemerintah termasuk soal investasi. Akan tetapi, harus mematuhi aturan yang sudah ditetapkan di Indonesia, bukan mengangkangi Undang-Undang, NKRI adalah harga mati. Kita tidak mau dikuasai oleh orang asing. Jangan menjadi penonton di negeri sendiri yang akan merusak lingkungan serta tatanan masyarakat. Hanya demi kepentigan perorangan atau kelompok yang menjadi imbasnya kepada masyarakat banyak,” kata Suharman.

Ia menyebutkan, di dalam aturan pada UU nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil beserta perubahannya, UU nomor 1 tahun 2014 dalam Pasal 35 huruf (e) secara tegas melarang menggunakan cara dan metode yang merusak ekosistem mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Larangan pengrusakan lingkungan juga diatur pada UU nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH), pasal 69 ayat 1 huruf (a) menegaskan setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Selain itu, Pulau Putotougat merupakan kawasan hutan produksi, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor : SK.353/Menhut-II/2013 tanggal 15 Januari 2013. Sementara menurut UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UU/11/2004 menegaskan bahwa hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.

Seharusnya, kata Suharman, pemerintah setempat harus sigap melihat aturan, karena di dalam aturan semua jelas. Namun menurut Suharman, pemerintah daerah seperti terkesan adanya pembiaran dan tidak peduli dengan persoalan perusakan lingkungan dan penebangan mangrove yang terjadi di wilayah pemerintahnya.

Selain itu, ia menduga ada semacam permainan dalam persoalan itu. Salah satu contoh adalah pembangunan tahap berjalan, pihak resort baru mengurus izin. Padahal diketahui juga bahwa lokasi pembangunan berada di kawasan zona kuning atau areal hutan produksi.

“Apakah bisa izinnya keluar? Persoalan ini kita tidak main-main. Ini NKRI, bukan negara asing dan kita tidak mau ada orang asing menguasai Indonesia dengan menciderai aturan NKRI. Persoalan ini harus diusut tuntas sampai ke meja hijau,” tutupnya. (ers)

print

BERITA TERKAIT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *