OJK Terbitkan Tiga Peraturan Baru, Diharapkan Kuatkan Perbankan

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso. (Febry)

JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan tiga peraturan (POJK) baru tahun 2021. Selain tiga POJK tersebut, juga telah diterbitkan kebijakan perpanjangan masa relaksasi restrukturisasi kredit yang diharapkan mampu memperkuat sektor perbankan.

Peraturan OJK (POJK) yang baru saja dirilis adalah POJK Nomor 12 tahun 2021 tentang Bank Umum dan POJK nomor 13 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Produk Bank Umum. Selain itu, sebelumnya juga telah diputuskan untuk memperpanjang relaksasi restrukturisasi kredit perbankan hingga 31 Maret 2023.

Ketua OJK Wimboh Santoso dalam webinar Rabu (8/9/2021) menegaskan, dilahirkannya POJK terkait perbankan tersebut terutama sebagai respon cepat dalam menghadapi tantangan di masa pandemi Covid-19. Menurut Wimboh, pada 27 Pebruari 2020, OJK merespon dengan mempersiapkan kebijakan stimulus, menyikapi dampak pandemi yang mulai berkembang di beberapa negara pada waktu itu.

“Hingga Pemerintah Indonesia mengkonfirmasi adanya dua orang WNI pada tanggal 2 Maret 2020, OJK meminta perbankan menginventarisasi debitur terdampak Covid-19 dan tindak lanjut kebijakan stimulus pada tanggal 5 Maret 2020,” kata Wimboh memaparkan kronologi kebijakan OJK dalam merespon pandemi Covid-19 tersebut.

Dia menegaskan, langkah tersebut ditindaklanjuti dengam melahirkan Peraturan OJK (POJK) nomor 11 tahun 2020 tentang Stimulus Covid-19 untuk Perbankan. “Kebijakan relaksasi kredit terdampak Covid-19 merupakan respon dini dan forward looking untuk mengatasi dampak pandemi, dicanangkan bahkan sebelum ditemukan kasus positif Covid-19 di Indonesia,” ujarnya.

Selanjutnya, POJK nomor 11/ 2020 tersebut diubah lagi melalui POJK nomor 48 tahun 2020 yang memutuskan untuk memperpanjang kebijakan relaksasi hingga 31 Maret 2022. Melalui Rapat Dewan Komisioner OJK pada tanggal 2 September 2021, diputuskan untuk diperpanjang lagi hingga 31 Maret 2023.

Wimboh memaparkan, penerbitan POJK nomor 12 dan nomor 13 tahun 2021, didasari kepada penyesuaian payung pengaturan bagi bank dalam melakukan transformasi dan akselerasi digital serta pengaturan proses bisnis termasuk layanan digital ataupun pendirian bank digital.

“Kemudian untuk mendorong percepatan transformasi digital sektor perbankan yang memberikan ruang bagi bank untuk lebih inovatif dalam menerbitkan produk dan layanan digital tanpa mengabaikan aspek prodensial,” jelasnya.

Sementara itu, terkait perpanjangan POJK 48 tahun 2020 tentang Relaksasi Restrukturisasi Kredit Perbankan, menurut Wimboh Santoso, terutama sekali bertujuan untuk memberikan ruang gerak bagi pelaku usaha. Berlaku bagi seluruh perbankan, termasuk BPR dan BPRS.

“Perpanjangan itu dilandasi oleh perbaikan kinerja perbankan, seperti pertumbuhan positif kredit dan Loan of Risk yang menurun meskipun Non Performing Loan (NPL) sedikit meningkat,” ujarnya.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Heru Kristyana menambahkan, substansi perpanjangan stimulus adalah sebagai kebijakan untuk mendukung stimulus pertumbuhan ekomomi terhadap debitur terdampak pandemi.

Meski stimulus diperpanjang, Heru menegaskan, manajemen risiko dalam rangka implementasi stimulus seperti diatur dalam POJK nomor 48 tahun 2020 tetap harus diterapkan oleh perbankan.

“Antara lain asessment terhadap debitur yang eligible untuk direstrukturisasi, kecukupan untuk kecukupan pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) serta stress testing dampak restrukturisasi terhadap permodalan dan likuiditas bank,” jelasnya.

Perpanjangan stimulus berlaku bagi seluruh perbankan. Baik bank umum, bank umum syariah, unit usaha syariah, BPR maupun BPR Syariah.

Pokok pertimbangan perpanjangan restrukturisasi kredit adalah untuk menjaga momentum perbaikan kinerja debitur restru Covid-19 dan untuk menjaga stabilitas kinerja perbankan serta menghindari potensi gejolak (cliff effect) saat POJK 48/2020 berakhir. Perpanjangan juga diperlukan dalam mempersiapkan bank dan debitur untuk soft landing ketika stimulus berakhir.

“Kemudian juga sebagai bagian dari kebijakan countercyclical dan dapat menjadi salah satu push factor yang diperlukan untuk menopang kinerja debitur perbankan dan perekonomian secara umum,” tandasnya. (Febry)

print

BERITA TERKAIT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.