
SIBERUT – Pakaian tradisional perempuan Mentawai (siokok) pada kegiatan adat biasanya selalu dilengkapi dengan mahkota di atas kepalanya. Mahkota di kepala perempuan Mentawai tersebut disebut Ogok Manai.
Dari bincang-bincang padangmedia.com dengan seorang Sikerei di Festival Pesona Mentawai 2018 yang digelar di Desa Muntei Siberut Selatan, 1 – 4 November 2018, pemakaian Ogok Manai biasanya dilakukan ketika ada kegiatan mendirikan sikerei baru, ritual sikerei dan pesta adat perkawinan (punen).
Ogok manai yang dipasangkan di kepala itu semuanya dari dedaunan, seperti buluk kailaba, laigak leleu, Luat, giri-giri yang terbuat dari bulu ayam jantan. Sebagai tambahan pelengkapnya, ada buluk bekeu dan buah kainauk.
Pemakaian Ogok Manai tersebut digunakan untuk kegiatan mendirikan Sikerei Baru dan ritual Sikerei. Sementara, pemakaian ogok manai untuk pesta adat perkawinan, ada tambahan atributnya, yaitu totonan, kiniu dan luat sikairat.
“Intinya, pemasangan ogok manai di kepala merupakan mahkota keindahan bagi perempuan Mentawai,” kata Sikerei Aman Lepon.
Dikatakan, kalau ada kegiatan pesta perkawinan adat, akan dilakukan prosesi pangurei yang dimulai dari orang tua pengantin perempuan datang menjemput kedua mempelai ke rumah pengantin laki-laki. Seterusnya dibawa ke rumah orang tua pengantin perempuan. Kegiatan tersebut dilaksanakan sehari di rumah orang tua perempuan.
Setelah itu, kedua pengantin diantar kembali ke rumah orang tua pengantin laki-laki yang sudah dirias dengan busana pakaian adat Mentawai, yaitu ogok manai sekaligus membawa makanan seperti ayam, babi, keladi dan kelapa yang diserahkan kepada keluarga laki-laki. Kemudian, keluarga pengantin laki-laki juga menyerahkan mas kawin sesuai permintaan seperti kuali, kampak, parang dan keladi. Dalam pesta perkawinan adat Mentawai melibatkan para taliku (ipar laki-laki) dan semua keluarga mempelai laki-laki.
Dalam proses pesta perkawinan adat, kedua pengantin melakukan puasa selama proses pangurei. Kalau sudah sah dinobatkan menjadi suami istri baru diperbolehkan makan. “Biasanya, lamanya berpuasa setengah hari. Inilah pantangan bagi yang melaksanakan perkawinan,” kata Aman Lepon
Lebih lanjut, Aman Lepon mengatakan, proses pangurei di Mentawai masih dijalankan karena sudah kebiasaan dari leluhur sejak dahulu. Walaupun zaman semakin maju, adat dan budaya masih tetap dipertahankan, meski prosesnya tidak selengkap dulu, ucapnya.
“Kalau dulu sebelum mengenal agama, orang Mentawai menganut kepercayaan arat sabulungan, dimana kepercayaan tersebut berkekuatan pada alam dan dedaunan. Jadi, atribut yang dipakai dalam kehiduapan sehari-hari orang Mentawai tak lepas dari alam dan lingkungan,” tuturnya.
Sementara itu, Kabid Pemasaran dan Promosi Disparpora Mentawai, Matehus Samalinggai menuturkan, lomba kreasi ogok manai pada kegiatan Festival Pesona Mentawai bertujuan untuk melestarikan adat budaya, sehingga generasi muda Mentawai tidak meninggalkan ciri khas yang diturunkan dari leluhur. Selain ogok manai, dalam proses pangurei ada juga pesta panungru (pesta kematian), pesta syukuran dalam satu suku, pesta mendirikan uma yang baru. Semuanya memakai atribut ogok manai.
“Sebenarnya, kalau perempuan Mentawai memakai atribut ogok manai, berarti sedang ada pesta. Inilah simbolnya, karena pemakaian ogok manai tersebut sudah menjadi ciri khas kebudayaan Mentawai sejak dulunya,” ucap Matheus.
Dikatakan, dalam lomba kreasi ogok manai, kategori yang akan dinilai adalah bagaimana tata rias memadukan warna hiasan atribut daun-daun yang dipasang di kepala. Kemudian, tata letak bunga yang dipasang, kombinasi warna dan pemasangan ogok manai. Kegunaanya dipakai untuk momen apa, misalnya mendirikan sikerei baru atau perkawinan.
“Jadi, lomba pemakaian ogok manai ini sesuai dengan momen kegiatan yang dilakukan masyarakat Mentawai,” kata Matehus. (ers)
Komentar