Nasrul Abit : Pengelolaan Pembangunan Harus Berwawasan Lingkungan dan Mengutamakan SDA

BUKITTINGGI – Sumatera Barat dikenal sangat rentan terhadap bencana alam. Karena itu dalam pengelolaan sumber daya alamnya sangat diperlukan kehati-hatian. Mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga tahap opersional aktifitas pembangunan harus sudah berwawasan lingkungan.

Hal ini disampaikan Wakil Gubernur Sumatera Barat Nasrul Abit pada pembukaan acara Rapat Koordinasi Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Barat, di Tri Arga Bukitinggi, Selasa (3 / 3/2020)

Selain faktor alami geomorfologi Sumatera Barat yang menyebabkan daerah ini rentan terhadap banjir dan longsor, terdapat beberapa persoalan lingkungan yang dihadapi.

“Kita bersama-sama terus berusaha mencari solusinya. Salah satu persoalan yang Alhamdulillah akan segera teratasi adalah masalah pengelolaan limbah B3 medis. Sejumlah 5,2 ton/hari atau 1.900 ton/tahun timbunan limbah B3 medis  pengelolaannya dibawa ke Pulau Jawa. Apabila semuanya dikelola sesuai Permen LHK 56 tahun 2015 tentang Tatacara dan persyaratan teknis pengelolaan Limbah B3 Fasilitas Pelayanan Kesehatan (FASYANKES) maka kita dapat memangkas biaya. Pembiayaan senilai  Rp 42,75 Milyar/tahun  yang harus dikeluarkan untuk mengangkut dan memusnahkan limbah B3 tersebut ada di Pulau Jawa,” ujar Nasrul Abit.

Nasrul Abit juga sampaikan, persoalan lain yang juga menjadi perhatian kita bersama adalah masalah persampahan dan illegal mining serta illegal logging. Pertambahan jumlah penduduk akan menyebabkan meningkatnya timbulan sampah. Di sisi lain tingkat layanan penanganan sampah di Kab/Kota tidak jauh berubah. Hal ini dipahami karena keterbatasan anggaran untuk urusan lingkungan hidup di Kabupaten/Kota hanya 0,01 sampai 0,1% dari APBD kab/kota. Dengan anggaran tersebut kemampuan daerah untuk melakukan pengawasan terhadap izin lingkungan yang diterbitkannya tidak lebih dari 25%. Oleh karena itu maka perlu terobosan yang harus dilakukan selain berupaya memperbesar alokasi anggaran.

“Banyak penghargaan lingkungan diperoleh oleh Provinsi dan Kab/Kota di Sumatera Barat baik itu penghargaan Adipura, Adiwiyata, kampung iklim sampai green leadership. Hal ini menunjukkan pengelolaan lingkungan tidak hanya ditentukan oleh besar kecilnya anggaran. Namun terletak pada  bagaimana fungsi koordinasi dan sinergitas antar sektor diciptakan, sehingga lingkungan menjadi mainstream yang diperhatikan dalam pelaksanaan kegiatan sektor terkait. Disamping itu kemampuan untuk meningkatkan kelompok-kelompok masyarakat termasuk petugas penyuluh yang ada (seperti penyuluh pertanian, kesehatan, peternakan dsb) sebagai agent of environment juga sangat berarti dalam perbaikan lingkungan”, ungkapnya.

Saat ini, tambah Nasrul,  semangat omnibus law yang akan meniadakan AMDAL pada kawasan yang RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) telah dilengkapi dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Secara aturan hal ini dimungkinkan karena termuat pada pasal 13 PP no 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.

“Satu sisi kita menyambut baik karena hal tersebut dapat mempercepat perizinan dalam berinvestasi tetapi di sisi lain berkonsekwensi semakin besarnya peluang terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu kehadiran narasumber dari KLHK saat ini perlu kita optimalkan untuk menggali tentang mekanisme dan hal-hal apa saja yang patut dipertimbangkan dalam penyusunan KLHS sehingga kita tidak salah langkah,” ingatnya.

Menurut Nasrul,  tidak satupun fasilitas incenerator di Rumah Sakit dan Peskusmas yang memiliki izin karena rata-rata FASYANKES di Sumatera Barat  berada  dekat pemukiman sehingga tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan. Selain hal tersebut menyebabkan pembiayaan yang tinggi, juga beresiko terhadap lingkungan karena tidak tertutup kemungkinan sebagian limbah B3 medis tersebut dibuang di tengah jalan, di laut dan di hutan atau bercampur dengan limbah domestik.

“Oleh karena itu adanya rencana pembangunan fasilitas Incenerator oleh KLHK yang akan dihibahkan ke Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2020 sangat kita sambut baik. Untuk itu baik Dinas Lingkungan Hidup maupun Dinas Kesehatan Kab/kota se Sumatera Barat dapat menyikapi dengan meningkatkan pembinaan agar FANYANKES di daerahnya memperbaiki manajemen-nya dalam mengelola limbah medis. Untuk puskesmas-puskesmas yang lokasinya tersebar dan jauh untuk dilakukan pengangkutan maka kiranya dapat difasilitasi membangun sistim transfer Depo (Depo Pemindahan/Penyimpan Sementara Bersama) sehingga seluruh limbah B3 medis ini dapat dikelola dengan baik,” ajak Nasrul Abit.

Melalui rapat koordinasi ini, nasrul berharap  dapat meningkatkan sinergi dan sinkronisasi perencanaan program dan kegiatan antara kabupaten/kota dengan provinsi serta Pusat terutama dalam pengelolaan sampah  dan penanganan limbah B3 medis serta KLHS. Dari rakor ini diharapkan melahirkan kesepakatan dan kerjasama yang saling memperkuat pengelolaan lingkungan hidup antara Pemerintah Pusat, Dinas LH Provinsi, dan Dinas LH Kab/Kota.

Hadir dalam kesempatan tersebut Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan dan Sektor Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK, Erik Teguh Primiantoro, S.Hut, MES, Direktur Verifikasi Pengelolaan Limbah B3, Limbah Non B3 Ditjen Pengelolaan Sampah, limbah dan B3. Ir. Ahmad Gunawan Widjaksono, MAS, Kepala Dinas LH, Bappeda dan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat, Kepala Dinas LH, Bappeda dan Dinas Kesehatan kabupaten/kota se Sumatera Barat .

Sementara tampil sebagai nara sumber adalah Erik Tegih Primiantoro dari KLHK  dan Ahmad Gunawan untuk memberikan materi sekaligus pencerahan terhadap berbagai persoalan lingkungan hidup di Sumatera Barat. (nit/Humas pempprov sumbar)

print

BERITA TERKAIT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.