Oleh: Melda Riani
Tak ada yang menginginkan datangnya musibah. Namun, jika musibah datang, tak ada pula yang bisa mengelak. Pepatah bilang: ‘Mujur sepanjang hari, malang sekejap mata’.
Hal yang sama dirasakan keluarga korban Lion Air JT610 yang jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Tak ada yang menyangka, pesawat yang masih terhitung baru itu bisa tak berdaya saat melintasi laut Karawang. Ratusan orang menjadi korban, termasuk seluruh kru pesawat.
Di balik tragedi jatuhnya pesawat, publik dikejutkan dengan pemberitaan gaji pilot Lion Air JT610 yang ikut jadi korban, Bhavye Suneja. Gaji pilot berkewarganegaraan India itu, seperti dilaporkan perusahaan ke BPJS dan diungkap Dirut BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto, hanya Rp3,7 juta sebulan. Angka yang tak masuk di akal. Apalagi, untuk seorang pilot asing dengan jam terbang yang sudah tinggi. Maka, kemungkinan adalah ada kesalahan laporan, atau laporan yang disengaja dipalsukan dengan mengecilkan nominal gaji, dengan tujuan mengurangi pembayaran premi ke BPJS.
Kejadian tersebut mengindikasikan bahwa kasus perusahaan yang tidak melaporkan gaji karyawan penuh masih terjadi. Bahkan, pada perusahaan besar sekalipun. Kasus Lion Air JT610 harus menjadi ‘pintu’ bagi BPJS TK untuk mengusut sekaligus kasus yang sama pada perusahaan-perusahaan lain.
Agus Susanto tak menampik bahwa ada sejumlah perusahaan yang melakukan praktik semacam itu. Modus seperti itu sebagai salah satu bentuk untuk menekan pengeluaran perusahaan. Dengan menurunkan besaran gaji karyawan, perusahaan bisa lebih sedikit membayar premi BPJS. Padahal berdasarkan peraturan, perusahaan harus mengeluarkan 5,7 persen dari upah pekerja setiap bulan kepada BPJS Ketenagakerjaan.
Perusahaan yang melaporkan gaji karyawan lebih rendah dari sebenarnya untuk menekan biaya premi ke BPJS biasa disebut Perusahaan Daftar Sebagian (PDS). PDS jelas-jelas merugikan karyawan. Untung-untung tak terjadi kejadian apapun selama masa kerja. Namun, jika terjadi kecelakaan kerja, maka yang terjadi adalah dua kali musibah bagi karyawan. Sudahlah musibah kecelakaan yang mengakibatkan cacat bahkan meninggal dunia, ditambah musibah dengan tidak diberikannya hak penuh pada karyawan atau ahli waris jika si karyawan meninggal dunia.
Direktur Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan, E Ilyas Lubis dalam siaran persnya pada November 2018 menegaskan, ada tiga jenis status PDS yang kerap terjadi. Yakni, PDS Tenaga kerja, PDS Upah, dan PDS Program. PDS Tenaga kerja adalah kategori perusahaan yang hanya mendaftarkan sebagian karyawan yang bekerja di bidang usahanya.
Sementara, PDS Upah adalah kondisi di mana perusahaan telah mendaftarkan seluruh pekerjanya dalam program perlindungan oleh BPJS Ketenagakerjaan, namun data upah yang dilaporkan lebih rendah daripada yang seharusnya. Terakhir kategori PDS Program, yaitu meski perusahaan telah mendaftarkan seluruh pekerja dan telah sesuai memberikan data upah karyawannya, namun perusahaan hanya ikut pada dua program perlindungan dari empat program wajib yang ada.
Menurutnya, PDS program dan PDS Upah menjadi pelanggaran yang paling lazim dilakukan perusahaan atau pemberi kerja. Bahkan, untuk perusahaan kategori menengah besar sekalipun. Kondisi itu sering terjadi lantaran pihak BPJS Ketenagakerjaan tidak mengetahui secara pasti berapa jumlah upah yang diterima pekerja, khususnya pekerja yang menerima upah di bawah UMP atau UMK dan kebijakan dari perusahaan terkait dengan pemberian upah kepada karyawannya.
Ilyas mengatakan, konsekuensi dari laporan data upah yang salah adalah berkurangnya manfaat yang bakal diterima peserta, seperti manfaat Jaminan Hari Tua (JHT), manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), dan manfaat Jaminan Pensiun (JP). Ketidaksesuaian data upah maupun tenaga kerja berdampak pada besaran manfaat yang akan diterima jika yang bersangkutan mengalami risiko pekerjaan.
Pada kecelakaan kerja, santunan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) bagi korban meninggal dunia dihitung 48 kali gaji yang dilaporkan. Sedangkan santunan untuk Jaminan Hari Tua (JHT) perhitungannya adalah 3,7 persen dari gaji. Bayangkan selisih manfaat yang akan diterima jika data gaji yang dilaporkan jauh lebih rendah dari yang sebenarnya.
Lebih miris lagi pada PDS tenaga kerja dimana hanya sebagian tenaga kerja yang didaftarkan. Lantas, bagaimana nasib sebagian tenaga kerja lainnya bila terjadi kecelakaan kerja pada mereka?
Pada kasus PDS jika terjadi musibah, maka menjadi kewajiban perusahaan untuk menanggung semua selisih yang timbul. Apabila perusahaan tidak patuh, maka BPJS Ketenagakerjaan bisa menjatuhkan sanksi administratif berupa teguran tertulis atau denda. BPJS Ketenagakerjaan bersama Pemerintah Daerah juga bisa mengenakan sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu.
Kembali pada kasus dugaan PDS pada Lion Air, BPJS harus tuntas menindaklanjuti kejanggalan yang terjadi. Jika tidak, maka hal itu malah akan menjadi pembiaran bagi perusahaan-perusahaan lainnya untuk melakukan hal serupa.
Di sisi lain, pekerja juga harus lebih aware terhadap PDS. Terutama bagi karyawan yang berprofesi dengan risiko tinggi seperti di bidang tambang, penerbangan dan lain-lain. Bila pekerja mencurigai ada tindakan nakal perusahaan atau pemberi upah, pekerja bisa melapor ke BPJS Ketenagakerjaan terkait informasi data upah yang akurat melalui aplikasi BPJSTKU. Kerahasiaan data peserta dijamin.
Jika diam, berarti pekerja sudah siap jika saat terjadi musibah, haknya tidak diberikan sepenuhnya oleh perusahaan atau pemberi kerja. Karena, pelaporan besaran upah yang tak sesuai tentu akan merugikan para pekerja yang terdaftar dalam program perlindungan BPJS Ketenagakerjaan. Karyawan hanya akan mendapatkan manfaat sesuai dengan besaran gaji yang dilaporkan ke BPJS TK. Pada kasus laporan gaji yang selisihnya mencapai puluhan juta rupiah, tentu selisih manfaat JHT bisa mencapai miliaran rupiah.
Jika memang sudah terjadi, maka pekerja harus menuntut perusahaan atau pemberi kerja yang melakukan PDS tersebut. Sudah menjadi kewajiban perusahaan untuk menanggung semua selisih yang timbul. Jangan sampai, karyawan peserta BPJS TK mengalami musibah ganda. Sudahlah jatuh tertimpa tangga pula. Sudahlah kecelakaan kerja, tapi tak mendapatkan haknya sebagaimana semestinya. (*)
Komentar