Meski Tanpa Suara, Langkahnya Terus Bergerak Tanpa Batas

Camera 360Meski terlahir sebagai anak berkebutuhan khusus, ia tak merasa hidupnya serta merta berakhir. Ia tidak merasa kekurangan itu sebagai kendala dalam menjalani hari-harinya. Sebaliknya, kekurangan itu dijadikannya sebagai motivasi untuk meraih prestasi. Hidup yang semula menurut banyak orang akan ia tempuh dalam dunia yang tertutup, ternyata bisa ia lakoni dengan penuh warna hingga menjadikan langkahnya terus bergerak tanpa batas.

“Keterbatasanku tidak membuatku malas. Aku suka bekerja dengan  yang baru supaya tidak bosan,” ungkap gadis kelahiran Padang, 9 November 1994 ini dengan intonasi yang cukup dimengerti. Meski  kadang bahasa  yang terucap  tidak sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia yang benar, tapi kalimatnya masih bisa dipahami.

Zikrya Afifah Salsabil, begitu nama lengkapnya, dilahirkan memang tidak seperti gadis normal lainnya. Ia bebicara seperti layaknya tuna rungu, menggunakan gerak bibir dan isyarat. Saat berkomunikasi dengan orang lain, ia tak lupa membawa kertas dan  pena untuk menuliskan sesuatu yang mungkin sulit ditangkap lawan bicaranya.

Masa kecil Uzhi, begitu ia disapa, meski memiliki keterbatasan, tidak berbeda dengan anak-anak lainnya. “Meski ia beda, tapi kami tidak membedakannya,” ungkap Katarina, Umi Uzhi yang selalu mendorong dan menyemangatinya.

Ketika mengetahui anak sulungnya terlahir tidak seperti anak normal lainnya, Katarina sempat terpukul. “Kenapa Uzhi  mesti berbeda? Kenapa ia terlahir tidak sempurna?” Sama seperti ibu-ibu lainnya, tentunya  ia mendambakan anak  yang normal dan sehat.

Semula, hingga berusia satu tahun, Uzhi terlihat sehat, lincah dan cantik.  Namun memasuki satu setengah tahun,  Katarina merasa ada yang aneh pada putrinya. Seusia itu biasanya anak-anak sudah bisa mengucapkan sepata atau dua patah kata, setidaknya memanggil ayah dan ibunya.  Namun Uzhi tidak memperlihatkan tanda-tanda itu.  Ia dan suaminya Amrizal mulai was-was.  Untuk menjawab kekhawatiran itu,  mereka membawa Uzhi ke dokter.  Hasil pemeriksaan pertama itu, dengan seorang dokter spesialis THT di Padang,  mereka tidak  menemukan hal yang mencurigakan. Mereka mulai lega.

Namun setelah usia dua tahun, Uzhie masih belum memperlihatkan perkembangannya. Ia masih belum juga bisa bicara. Pada saat itu, kebetulan mereka ada keperluan ke Jakarta, mereka menyempatkan waktunya memeriksakan Uzhie ke Rumah Sakit.  Beberapa kali mereka melakukan pemeriksaan, akhirnya diketahui bahwa telinga kirinya tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sementara telinga kanannya hanya memiliki kemampuan 75 desibel.

Ibu mana yang tidak terpukul mendapati buah hatinya dalam kondisi berbeda dengan anak-anak lainnya? Rina sangat syok.  Bagaimana masa depan anaknya kelak? Meski dokter spesialis di Jakarta itu menghiburnya dengan alternatif alat bantu dengar, namun Rina tetap saja merasa dunia seperti runtuh. Kehidupan macam apa yang bisa ia tawarkan pada putri sulungnya nanti?

Kembali ke Padang,  Rina masih berkecamuk.  Keluarga besarnya, terus memberinya semangat.  Seorang kakaknya malah  mempertemukan Rina dengan seorang sahabatnya yang juga memiliki anak dengan kasus yang sama dialami Uzhie. “Hanya usianya jauh lebih besar. Waktu itu ia sudah masuk sekolah. Saya banyak berkonsultasi dengan teman kakak saya itu,” ujar Rina mengenang masa sulitnya.

Dorongan keluarga besarnya membuat Rina termotivasi. Kemudian ia menyadari bahwa Allah tentu mempunyai maksud dibalik semua ini. Ia yakin, Allah sangat menyayanginya sehingga memilih dia sebagai ibu yang harus membesarkan anaknya dengan kebutuhan khusus. Rina  mulai bersemnagat. Ia bertekad akan mendidik anaknya sendiri. Untuk proteksi pada Uzhi , pernah terlintas dalam pikirannya untuk memberi pendidikan di rumah tanpa harus masuk sekolah. Tetapi dengan berbagai pertimbangan bersama Abinya , mereka akhirnya memutuskan si sulungnya harus terbiasa dengan dunia luar.

Sejak Kanak-kanak Sudah Kenal Bisnis

Ketika usia kanak-kanak, Uzhi sudah dibiasakan dengan dunia luar agar terlatih berkomunikasi. Ia sering diajak Umi dan Abinya ke Mall, atau tempat-tempat umum lainnya. Untuk melatih bicaranya, Uzhie diberikan terapi wicara denga seorang terapis. Selama itu, Rina selalu mendampinginya. Ia bahkan rela berhenti dari  pekerjaannya. “Uzhi lebih membutuhkan ibunya,” ucapnya pasti.

Ketika usia sekolah, ayahnya pindah tugas ke Pekanbaru. Mereka sekeluarga ikut pindah. Disana, Rina dan suaminya memasukkan Uzhi ke Pesantren milik saudara mereka. Menurut mereka, Uzhi harus masuk sekolah normal agar  lebih berkembang. Syukurlah ada sekolah umum yang mau menerima anak berkebutuhan khusus. Memang tak banyak sekolah umum yang bersedia menerima anak-anak berkebutuhan khusus.

Di sekolah itu, teman-temannya kebanyakan mendorongnya dan membantunya jika kesulitan. “Sebenarnya aku segan diperlakukan seperti itu. Tapi mereka sangat baik. Saat ujian mereka bantu aku,” ungkap Uzhi..

Entah kenapa, di sekolah itu, apa yang ia miliki selalu menarik perhatian bagi teman-temannya. Pernah sekali waktu, ia membawa stiker bergambar ke sekolah. Kebetulan stiker itu dibelikan Abinya saat mereka ke Mall. “Gambarnya lucu-lucu. Ternyata temanku banyak yang suka. Aku jual saja sama mereka. Banyak yang beli. Merka juga pesan untuk dibelikan lagi. Waktu itu satu stiker kujual 100 rupiah. Kalau gambarnya agak besar, aku jual 200, 300 dan 500 rupiah. Padahal satu lembar itu cuma dua ribu rupiah. Satu lembar itu isinya lebih dari 10  gambar. Jadi aku untung.” katanya seraya tertawa.

Kebiasaannya membawa barang-barang jualan itu sering dijadikan contoh oleh gurunya. Bahkan gurunya sendiri ikut membeli. Selain stiker, ia juga membawa gelang, kalung motte-motte atau manik-manik yang dijahit uminya.

Tak hanya jualan stiker dan motte-motte. Masih SD itu juga, ia pernah membuat pustaka mini di rumahnya. Buku-buku milik keluarganya ia susun seperti pustaka. Kebetulan rumah mereka tak jauh dari sekolahnya Pesantren Babussalam . Jadi teman-temannya suka main ke rumah sepulang sekolah. Melihat koleksi pustaka buatan Uzhi teman-temannya tertarik meminjam. Ia memasang tarif untuk pinjaman itu, satu buku lima ratus rupiah selama 3 hari. Meski tak mahal, tetapi ia sudah mendapatkan uang dari hal-hal yang semula tak bernilai guna.

Dalam hal pelajaran, sebagai anak berkebutuhan khusus, ia mengakui banyak mengalami kesulitan karena sekolah normal. Terutama dalam menghadapi ujian yang didiktekan  guru. Dari kelas 1 hingga kelas 3, kebanyakan ujian dibacakan soalnya oleh guru. Uzhi selalu disuruh duduk dibangku paling depan. Ia diberikan soal ujian tertulis agar ia bisa menjawabnya.

Meski dalam kesehariannya Uzhi mengaku banyak  teman membantunya, tapi diantaranya ada juga yang suka usil mengejeknya. “Mereka mengatakanku bisu. Kadang-kadang mereka mengolok-olok,  hei bisu, bisu…. Aku dihina-hina,” katanya setengah menunduk. Kala itu ia hanya bisa menangis. Setiba di rumah matanya masih basah. Hanya kepada Umilah tempatnya menumpahkan air mata.

Air mata Uzhie bagaikan  belati yang menusuk  ke hulu hatinya.  Namun sebagai ibu, Rina tak boleh kelihatan lemah dimata Uzhi. Sebaliknya, ia harus selalu memberinya semangat.

Saat berusia 10 tahun, sekali waktu, Uzhi mempertanyakan kondisinya yang berbeda dengan anak-anak lainnya, begitu juga dengan adiknya. Rina menceritakan kalau ia mengalamai demam panas  saat  Uzhi 8 bulan dalam  kandungannya. Lalu ia berobat ke dokter. “Jadi saya menyampaikan pada Uzhi kalau kondisinya bisa jadi karena saya mengkonsumsi obat  saat panas tinggi itu.  Selain itu, semua yang kita alami adalah takdir. Ia bisa menerimanya. Bahkan saat saya hamil adiknya yang kecil, ia selalu mengingatkan saya agar tidak  makan obat sembarangan. Dia sangat menjaga saya. Satu hal yang ia tekankan, ia tidak ingin adiknya mengalami hal yang sama,” papar Rina.

Menapaki Dunia Model

Sebagai anak berkebutuhan khusus, Uzhi tidak pernah merasa minder. Rasa percaya diri sudah ditanamkan seluruh keluarganya pada Uzhi. Semua orang dalam keluarga besarnya tak pernah memperlakukannya sebagai tuna rungu. Sehingga dalam berkomunikasi, tak ada yang menggunakan bahasa isyarat dengannya. Akibatnya, ia berusaha untuk tahu apa yang dibicarakan orang.

Karena rasa ingin tahu itu pula, Uzhi mencoba banyak hal. Sebagai orang tua, Umi dan Abinya selalu memberi dorongan selagi dalam batas kewajaran. Sejak usia kanak-kanak itu, ia sudah mengikuti berbagai lomba. Diantaranya lomba menggambar dan model. Khusus untuk dunia model, di sekolahnya, saat acara perpisahan sekolah, ia selalu dipilih sebagai salah satu peserta.

Melihat penampilannya dalam acara-acara di sekolah, salah satu tantenya mencoba mendaftarkan Uzhi dalam lomba yang digelar di sebuah Mall Pekanbaru. Ketika itu ia masih kelas 2 SD. Pengalaman pertama itu menjadi peristiwa yang sangat berkesan baginya. Karena panitia kala itu memberikan latihan singkat untuk peserta. “Aku senang diberi latihan. Tapi belum menang. Aku cuma sampai final,” ujarnya.

Selama kegiatan itu, tak ada panitia dan peserta yang tahu bahwa ia adalah seorang tuna rungu. Karena dialog yang dilakukan hanya sekedarnya saja. Lomba itupun untuk peserta umum.

Tamat SD, ayahnya  pindah tugas lagi ke Jakarta. Uzhi dimasukkan ke SMP Santi Rama, sekolah khusus tuna rungu. Orang tuanya tidak mendaftarkan Uzhi  ke sekolah normal karena khawatir Uzhi akan minder. Apalagi usianya tengah beranjak remaja dan tingkat kesulitan pelajaran semakin tinggi. Ternyata Uzhi senang dan merasa nyaman di sana.  Ketika masuk sekolah itu, seluruh guru dan pengurus yayasan  merasa heran karena Uzhi lulusan SD Babussalam, sekolah normal. Menurut guru-gurunya kemampuan komunikasi Uzhi jauh lebih baik dibanding teman-teman lainnya di sana.

Awal masuk sekolah, Uzhi mengaku canggung, karena tidak bisa bahasa isyarat. Sebab sejak kecil ia tidak  belajar khusus bahasa isyarat. Sementara anak-anak lain semuanya di sekolah itu menggunakan bahasa isyarat. Malahan ada anak yang sama sekali tak mengeluarkan suaranya dalam berkomunikasi. Ia hanya mengandalkan isyarat melalui gerakan tangannya. Alhasil, ia mesti belajar ekstra kamus bahasa isyarat agar lebih mudah berkomunikasi dengan teman-temannya.

Di sekolah itu, semua anak-anak berkebutuhan khusus diarahkan agar mandiri. Jadi sejak mereka SMP, kemudian SMA kalau meneruskan disekolah yang sama, mereka sudah diberi bekal. Guru mereka akan melihat perkembangan dan kemampuan si anak. Selain ketrampilan jahit menjahit, memasak, melukis, montir, merias juga ada disain. Awalnya, meski ia suka menggambar, tapi Uzhi tidak memilih disain. Ia malah memilih menjahit, karena Uminya juga suka menjahit di rumah.

Disinilah kemampuannya dalam modelling kembali diasah. Guru di sekolah ini sangat antusias membina anak-anak dalam kemampuannya. Uzhi dan beberapa teman di Santi Rama sering diikutkan dalam lomba oleh gurunya. Tak terhitung lagi berapa kalinya ia mengikuti lomba mewakili sekolahnya. Semua keperluan lomba, bahkan pendaftaran pun, gurunya yang proaktif. Tak sia-sia memang. Ia dan teman temannya di Santi Rama selalu masuk final dan sering memperoleh juara. .

print

BERITA TERKAIT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *