Oleh: Dhiki Hamdhany, S.I.Kom
Sekarang banyak akun media sosial tidak pernah update, tapi rutin memperhatikan lalu lintas informasi di media sosial. Terbukti ketika ngobrol dengan seseorang yang terlihat tidak aktif di media sosial, nyatanya dia banyak tahu informasi tentang lingkungan sekitar, teman-teman, keluarga, politik, pemerintah, dunia dan segala sesuatu yang sedang viral bersumber dari media sosial.
Kebalikannya, banyak juga yang sangat aktif menggunakan media sosial. Setiap kegiatan, baik sendiri maupun bersama keluarga dan teman-teman di tampilkan di media sosial. Ada yang sekedar eksis dan ada juga yang mencari keuntungan.
Media sosial pada awal kemunculan diperuntukkan untuk individu-individu yang ingin menjalin hubungan dengan orang lain. Setidaknya secara daring (dalam jaringan) mereka dapat berkomunikasi dan berbagi informasi. Dalam buku Gunawan dan Ratmono (2021) “Medsos di Antara Dua Kutub” disebutkan bahwa sejarah media sosial berawal dari suatu ide mengembangkan teknologi untuk memudahkan manusia berkomunikasi satu sama lain.
Pada tahun 1950-an istilah phone phreaking yaitu masuk secara ilegal ke saluran pengujian perusahaan telpon untuk melakukan percakapan telpon secara gratis, dianggap sebagai cikal bakal yang mengarah ke media sosial. Namun berdasarkan format, disebutkan bahwa media sosial yang pertama adalah SixDegrees.com (1997). Meskipun sudah ada GeoCities (1994) dan Classmates.com (1995), banyak ahli mengatakan SixDegress.com sebagai media sosial pertama, karena dalam pengaplikasiannya, pengguna SixDegress.com menampilkan nama yang sebenarnya.
Satu per satu media sosial mulai bermunculan pada era 2000-an. Salah satu media sosial yang mampu meningkatkan pertukaran informasi di seluruh dunia adalah Facebook. Pada tahun 2010 Mark Zuckerberg (pendiri Facebook) pernah mengibaratkan, “jika Facebook adalah suatu negara, maka negara tersebut adalah negara peringkat ke-6 terpadat di dunia”.
Hasil survei Hootsuite – We Are Social per 25 Januari 2021, mengatakan jumlah pengguna Facebook di seluruh dunia sudah mencapai 2,74 miliar user. Sedangkan, per Maret 2022 negara yang paling banyak jumlah penduduknya di dunia hanya berjumlah sekitar 1,41 miliar jiwa, yaitu negara Tiongkok (sumber: https://id.wikipedia.org). Pengguna Facebook hampir dua kali lipat dari jumlah penduduk negara tersebut.
Dulu media sosial hanya digunakan oleh individu dan untuk kepentingan individu. Pengguna menampilkan kegiatan sehari-hari dan berinteraksi dengan penguna lain. Dengan satu kata ‘pusing’ atau ‘kangen’ pada status Facebook misalnya, pengguna akan senang jika banyak like dan komentar dari pengguna lain di media sosial.
Semakin hari, semakin banyak pengguna yang eksis di media sosial. Eksistensi dipandang sebagai bukti keterbukaan diri. Keterbukaan menyebabkan semua aktivitas dapat diketahui, walaupun tidak pernah bertemu secara langsung di luar jaringan (luring).
Satu sisi, eksistensi dapat menjadi pekerjaan yang menambah penghasilan. Siapa pun yang menarik bagi pengguna media sosial, akan memiliki jaringan yang luas. Dengan banyak koneksi jaringan di media sosial, akan memiliki pengaruh yang besar kepada komunitas. Bukan siapa-siapa, bukan artis, bukan tokoh dan publik figur bisa menjadi terkenal karena eksis dan viral di media sosial.
Di sisi lain, eksistensi memiliki dampak yang kurang baik. Jika pengguna terlalu fokus pada “like, comment and share”, pengguna berisiko melakukan apa yang tidak mereka lakukan dalam keadaan normal. Mereka bisa saja merubah penampilan dan melakukan perilaku negatif untuk mendapatkan respon yang tinggi dari pengguna media sosial.
Eksistensi bisa menimbulkan perlombaan dan perbandingan. Keadaan kehidupan, sukses atau gagal dan relasi atau hubungan, rawan diperbandingkan. Tidak hanya pengguna yang eksis, tapi pengguna yang tidak eksis pun dapat terpengaruh. Melihat keberhasilan orang lain, bisa menumbuhkan harapan yang tidak wajar karena ingin memiliki atau melakukan hal yang sama dilakukan oleh orang lain.
Kembali pada di media sosial yang awalnya kepentingan individu, sekarang telah berkembang sedemikian rupa menjadi kepentingan banyak pihak. Dengan adanya relasi dengan pihak lain membuat media sosial berkembang menjadi kepentingan bisnis dan bahkan kepentingan politik.
Bagi kepentingan bisnis, media sosial menjadi ruang yang sempurna untuk beriklan dan melakukan promosi. Bagi kepentingan politik, media sosial menjadi tempat untuk menyebarkan berbagai macam informasi. Informasi bisa untuk personal branding, menjatuhkan lawan politik, mempengaruhi opini publik, dan sebagainya. Informasi yang disebarkan pun beragam, mulai dari yang benar-benar terjadi, sampai informasi yang digadang-gadang dengan maksud dan tujuan tertentu.
Jika dulu Napoleon Bonaparte pernah mengatakan bahwa dia lebih khawatir pada kekuatan surat kabar yang tidak bersahabat dari pada seribu bayonet. Sekarang mungkin akan mengatakan bahwa lebih takut pada kekuatan media sosial yang difasilitasi oleh jaringan internet dari pada seribu bayonet.
Sebagai contoh kasus misalnya, gejolak di Myanmar pada tahun 2021 silam ketika militer melakukan kudeta pasca pemilu. Sebelum melakukan kudeta salah satu strategi yang dilakukan militer adalah dengan mengurangi akses internet masyarakat. Namun teknologi masih membuat masyarakat bisa mengakali dengan cara menggunakan VPN (Virtual Private Network) untuk mengakses internet. Facebook digunakan masyarakat sebagai media sosial andalan untuk menggali informasi dan berkomunikasi. Melihat hal itu, militer yang berkuasa pada akhirnya memblokir Facebook karena takut dapat merusak stabilitas nasional. **)
*) Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Andalas
**) Seluruh isi tulisan adalah tanggung jawab Penulis
Email: dhiki.mail@gmail.com
Alamat: Perumahan Lembah Nan Indah, Tanah Garam, Kota Solok