Majelis Alam Minangkabau Dideklarasikan, Hadir untuk Hadapi Perusak Adat

 

AGAM – Para pencinta adat budaya Minangkabau bersepakat membentuk wadah Majelis Alam Minangkabau. Bertepatan malam Nuzulul Qur’an, 17 Ramadhan 1442 H/29 April 2021. M.A.M didirikan oleh berbagai unsur pewaris kebudayaan Minangkabau: niniak mamak, ulama, akademisi, seniman, aktivis perempuan, dan aktivis kepemudaan.

Deklarasi Majelis Alam Minangkabau (M.A.M) dilakukan melalui jaringan virtual zoom. Para inisiator M.A.M sebanyak 33 orang berdomisili di ranah dan rantau. Ada yang berada di Banjarmasin, Jakarta, Banten, Padang, Agam, Tanahdatar, 50 Koto, Bukittinggi, Solok, Padangpanjang.

“Salah satu tugas dari Majelis Alam Minangkabau adalah menjaga adat budaya Minangkabau dari segala usaha berbagai pihak yang akan marusaknya. Selain itu, Majelis Alam Minangkabau juga berikhtiar mendorong pemajuan kebudayaan Minangkabau dalam berbagai segi.” ungkap salah seorang inisiator pembentukan Majelis Alam Minangkabau Emeraldy Chatra Dt. Rajo Malano  dalam relis yang diterima padangmedia.com, Jumat (30/4/2021)

Deklarasi dibacakan oleh Asraferi Sabri St. Mangkuto dari Nagari Pasia, Agam, diikuti semua deklarator.  Isi deklarasi M.A.M, adalah :

Kami pecinta, pewaris dan pelanjut kebudayaan Minangkabau dengan bismillahirrahmanirrahim mendeklarasikan Majelis Alam Minangkabau. Untuk menyusun organisasi dala rangka kemajuan, peningkatan kualitas dari segala sisi, untuk memperkokoh dan melindungi kebudayaan Minangkabau dari berbagai anasir yang bermaksud merusaknya, akan diselenggarakan musyarawah dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Nagari Pasia, Kecamatan Ampek Angkek, Kabupaten Agam
17 Ramadhan/29 April 2021

Sejarah Panjang
Minangkabau adalah sebuah kebudayaan besar yang memiliki sejarah sangat panjang. Tidak ada yang dapat menjelaskan secara persis kapan sebenarnya kebudayaan Minangkabau bermula. “Namun yang pasti kebudayaan ini sudah ada jauh sebelum Islam masuk ke Nusantara,” kata Dt. Rajo Malano mengutip pokok pikiran pendirian M.A.M dalam prolog deklarasi.

Sebagai kebudayaan yang sudah tua, kebudayaan Minangkabau tidak luput dari proses perubahan, baik yang bersifat manifest atau revolusioner yang menimbulkan gesekan keras di tengah masyarakat maupun yang laten, gradual, halus dan tak begitu dirasakan oleh pendukungnya.

“Perubahan yang gradual itu baru dirasakan ketika sejumlah nilai fundamentalnya sudah bergeser atau berubah,” ujar Dt. Rajo Malano.

Kebudayaan adalah platform kolektif bagi sebuah komunitas dalam berpikir, merasa dan bertindak. Buruk baiknya tindakan individu dalam komunitas akan diukur dari kerangka nilai yang sudah mendapat pengakuan bersama dan diajarkan dari satu generasi ke generasi lain.

Sebagian masyarakat kebudayaan lain ada yang mengunci platform kebudayaannya agar tidak berubah dari satu masa ke masa yang lain. Praktek penguncian platform biasanya terjadi di kalangan masyarakat kuno yang masih hidup di zaman ini, yang sering dianggap sebagai masyarakat terkebelakang bahkan ada yang menyebutnya suku primitif.

“Masyarakat Minangkabau tidak termasuk yang mengunci platform kebudayaannya, walaupun tidak pula membiarkan semua aspek kebudayaannya berubah,” kata Dt. Rajo Malano.

Orang Minangkabau, terang Dt. Rajo Malano mengekspresikan perubahan dalam ungkapan ‘sakali aia gadang, sekali tapian barubah’ (setiap kali air meluap tepian sungai akan berubah). Namun di belakang ungkapan itu ada tambahan ‘nan tapian mandi di sinan juo’ (meskipun demikian tempat mandi tetap di sana).

“Bagi masyarakat Minangkabau, perubahan itu sebuah keniscayaan, tidak mungkin dihindari. Tetapi orang Minangkabau harus mempertahankan nilai yang esensial dari kebudayaannya,” kata Dt. Rajo Malano. (rls)

print

BERITA TERKAIT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.