Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) terhitung 18 November 2014 lalu menuai protes dari masyarakat, terutama dari kalangan mahasiswa. Bermacam tudingan dan hujatan dilontarkan kepada pemerintah, bahkan ada juga yang menuntut Presiden RI Joko Widodo mundur dari jabatannya. Pemerintah dituding tidak pro rakyat, membodohi rakyat dan tidak mewujudkan kesejahteraan, tetapi malah menciptakan kemiskinan.
Pemerintah mengambil kebijakan mengurangi alokasi anggaran negara untuk mensubsidi BBM. Dengan pengurangan subsidi tersebut, dalam hitung-hitungan kasarnya, terjadi penghematan anggaran lebih kurang Rp100 triliun yang bisa digunakan untuk peningkatan pembangunan dan penguatan jaminan sosial. Rencananya dana pengalihan subsidi BBM tersebut akan dimanfaatkan untuk mensubsidi program jaminan sosial seperti kesehatan, pendidikan dan bantuan untuk warga miskin.
Dampak dari pencabutan subsidi BBM tersebut, terjadi kenaikan harga masing-masing Rp2.000 per liter untuk jenis premium dan solar. Pemerintah beralasan, subsidi BBM selama ini tidak tepat sasaran. Subsidi yang tujuannya adalah masyarakat miskin tersebut pada prakteknya juga dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Dengan demikian, terhitung pukul 00.00 Wib tanggal 18 November lalu, harga baru premium menjadi Rp8.500 dan harga solar menjadi Rp7.500 per liter.
Selama beberapa hari pasca kenaikan, gelombang protes terus bergelora di seantero negeri. Pemerintah dihujat, diprotes, dinilai tidak pro rakyat. Jokowi dituding membodohi rakyat. Janji politik Jokowi disebut sebagai janji palsu. Kenaikan BBM dikatakan memiskinkan rakyat.
Benarkah demikian tidak \\\”sence of crisis\\\” nya pemerintahan sekarang? Apakah dengan kebijakan menaikkan harga BBM saat situasi harga minyak dunia mengalami penurunan sudah bisa dikatakan pemerintah tidak pro rakyat? Apakah jika presiden bukan Jokowi, kenaikan ini tidak akan terjadi?
Pengamat ekonomi yang sangat memahami kebijakan ekonomi fiskal dari Universitas Andalas, Dr. Hefrizal Handra berpendapat sebaliknya. Justru dengan menaikkan harga BBM, pemerintah telah mengambil langkah maju dalam menyelamatkan perekonomian Indonesia. Meskipun langkah itu dinilai berani dan keputusan yang sulit, namun dampak positifnya terhadap perekonomian nasional sangat besar, bukan sekedar penghematan anggaran negara.
Menurut Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi Unand ini, menjaga ketahanan fiskal adalah pemikiran penting sehingga melahirkan kebijakan menaikkan harga BBM. Ia menafikan anggapan bahwa kenaikan BBM akan memiskinkan rakyat meskipun diakui selama satu atau dua bulan pasca kenaikan akan terjadi gejolak harga akibat penyesuaian harga barang dengan biaya produksi.
Penyesuaian harga BBM dan mengurangi subsidi merupakan pil pahit yang harus ditelan demi menyehatkan perekonomian nasional. Justru, kata Hefrizal, kebijakan ini sudah sedikit terlambat. Mestinya penyesuaian harga sudah harus dilakukan pada semester pertama tahun 2014.
Ia menyebut, minyak adalah barang langka yang tidak semestinya dijual murah. Murahnya harga BBM selama ini karena sebagian ditanggung oleh subsidi telah menimbulkan banyak permasalahan. Mulai dari pemborosan hingga kepada indikasi terjadinya illegal trading, penyelundupan dan sebagainya. Illegal trading dan penyelundupan BBM dimungkinkan terjadi mengingat perbedaan harga BBM bersubsidi dan non subsidi terlalu tinggi.
Mengaitkan kenaikan harga BBM di Indonesia dengan turunnya harga minyak dunia, ia berpendapat hal itu bersifat temporer. Sewaktu-waktu, minyak dunia bisa naik lagi. Dan secara rata-rata, harga minyak dunia pada tahun 2014 masih berada pada kisaran US $110 per barel, meskipun pada bulan ini berada pada harga di bawah US $100 per barel.
Dengan kebijakan tersebut, langkah pemerintah dinilai sudah tepat. Ibarat minum obat, menaikkan harga adalah pil pahit yang harus ditelan supaya ekonomi tetap sehat. Namun, pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis untuk antisipasi terhadap dampak yang ditimbulkan akibat kebijakan tersebut. Kebijakan itu harus diiringi dengan langkah antisipatif untuk meminimalisir dampak sesaat akibat kenaikan harga.
Ia menyarankan pemerintah harus melakukan intervensi pasar, mengawasi distribusi barang, memantau kenaikan harga dan melakukan operasi pasar dan menggelar pasar murah jika diperlukan. Selama hal itu bisa dilakukan dengan baik, laju inflasi bisa dikendalikan.
Sebelumnya, Menteri Keuangan RI Bambang Permadi Sumantri Brodjonegoro mengakui, dampak kenaikan BBM akan memicu kenaikan inflasi sekitar 2 persen dari 5,3 persen menjadi 7,3 persen. Namun di sisi lain, kenaikan BBM akan berdampak positif terhadap defisit neraca berjalan. Inflasi diperkirakan akan mereda dua bulan kedepan sementara kenaikan akan sangat membantu mengatasi defisit neraca berjalan.
Pemerintah telah mengakui bahwa menaikkan harga BBM adalah pilihan sulit. Pengamat ekonomi juga mengakui hal yang sama, namun langkah itu harus diambil untuk menjaga ketahanan fiskal guna menyehatkan perekonomian ke depan. Dari masyarakat terjadi penolakan. Pemerintah dinilai tidak pro rakyat, kenaikan BBM dinilai memiskinkan rakyat. Semoga saja kenaikan harga BBM bisa membawa angin positif kepada perekonomian Indonesia seperti yang diharapkan. Sehingga pra anggapan kenaikan BBM memicu kemiskinan bisa dipatahkan! Buktikan, jika pemerintah ingin mendapatkan kepercayaan dari masyarakat! (*)