Oleh : Melda Riani
“Ayah bunda…
Aku ingin bermain bersama mereka
Namun kenapa aku tak bisa?
Permainan pelepah kelapa dan tapak kuda
Bersuka ria bersama mereka..
Ayah.. Bunda..
Aku tak punya pilihan
Aku terpaksa bekerja
Walau hanya memanggul pasir
dengan pundakku nan kecil
dari batang air
Demi selembar uang sepuluh ribuan
Tapi tidak mengapa, karena engkaupun bahagia
Ayah.. Bunda..
Kapankah waktu itu ada
Untuk anakmu tercinta?”
Bait-bait puisi itu hanya teriakan dari dalam hati bocah-bocah yang terenggut masa bermainnya karena mencari uang. Tak benar-benar disampaikan kepada ayah bunda, tentunya. Akan membuat sedih ayah bunda, atau malah sebaliknya, bisa membuat marah. Namun, jika saja ayah bunda mau memahami, mungkin itulah yang ingin disampaikan oleh anak-anak yang terenggut hak bermainnya itu.
Begitu yang ingin direpresentasikan sejumlah bocah sekitaran usia 7 hingga 10 tahun yang melakukan aktifitas mencari kerikil di sungai Batang Kuranji Kota Padang selepas sekolah. Dengan tangan-tangan mungil mereka, anak-anak itu sibuk memasukkan kerikil yang dikumpulkan ke dalam sebuah karung kecil. Setelah itu, kerikil yang terkumpul dijual kepada pengumpul. Kadang satu anak bisa mendapat Rp10 ribu, kadang kurang dari itu.
Demi uang Rp10 ribu itu, hak bermain anak terampas. Anak-anak yang seharusnya bisa bermain sepulang sekolah, malah terpaksa berkutat dengan aktifitas ekonomi, baik mencari kerikil ataupun menjual gorengan.
Di tempat lain, seorang anak bernama Asa, 10, tampak kebingungan mencari teman bermain. Si kakak yang diajak main bulu tangkis, malah tengah asyik bermain gadget. Diajak anak yang lain, kondisinya pun tetap sama: semua asyik berkutat dengan gadget masing-masing.
Ada pula yang bergaya kedewasa-dewasaan. Belajar menggunakan gincu, ber-make up dan menonton sinetron dewasa tanpa pendampingan orang tua. Dimana orang tua? Ada yang pergi untuk urusannya, dan ada yang masih sibuk dengan gadget meski saat berada di rumah.
Problema anak-anak jaman now itu ditampilkan oleh anak-anak yang tergabung dalam Rumah Anak Soleh (RAS) Kota Padang dalam event tahunan bertajuk ‘Festival Karakter’ III, Senin (14/1) yang pada gelaran kali ini diadakan di Hotel Rangkayo Basa, Padang. Dan, bait-bait puisi itu menjadi nyanyian lirih anak nagari yang disuarakan melalui penampilan di atas panggung.
Manajer RAS, Galant Victory menyatakan, suara anak nagari yang ditampilkan adalah sebuah harapan kepada orang-orang dewasa, terutama orang tua. Harapan dari anak bahwa merekapun butuh bermain bersama teman dan tumbuh sewajarnya sesuai usia. Anakpun butuh perhatian dari orang tua di rumah. Karena, tak susah menemukan orang tua yang sudah pulang ke rumah, tapi masih sibuk dengan gadget. Sibuk dengan kertas dan pena sisa pekerjaannya di kantor. Padahal, anaknya duduk di samping, bisa menyentuhnya secara fisik dan bisa mencium aroma tubuhnya.
“Kalau anak bisa mengungkapkan perasaan, mereka akan berkata, ‘Aku anakmu, bukan gadget itu, bukan pena dan kertas itu’,” ujarnya.
Kerap pula terjadi, seorang anak lebih memilih berbohong daripada berkata jujur karena takut kena hardik atau kena cubit orang tua. Itu seperti sudah menjadi mekanisme pertahanan tubuhnya, berlindung dengan cara berbohong, daripada jujur tapi kena cubit.
Ada pula anak yang hiper aktif dan sangat suka mengganggu teman, sehingga tak ada satu teman pun yang luput dari gangguannya. Anak seperti itu, katanya, karena hatinya merasa sepi. Tak cukup mendapat perhatian dari orang dewasa sekitarnya.
Padahal, anak-anak perlu didampingi. Diyakinkan bahwa mereka aman ketika jujur. Dihargai ketika mereka berbuat baik. Dihargai dengan gembira saat mereka hadir dan dimaafkan saat mereka berbuat salah. Anak-anak juga harus mendapatkan tempat yang baik untuk bermain.
“Untuk itulah RAS hadir. Dengan sinergi bersama masyarakat, kita ingin meyakinkan bahwa semua anak adalah bintang,” ujarnya.
Galant juga berharap semangat untuk meyakinkan semua anak adalah bintang itu juga tertular kepada masyarakat di tempat-tempat lainnya di Sumatera Barat, bahkan Indonesia. Untuk itu, mulai tahun 2019 ini, dengan dukungan Entry Augustino Ltd, RAS yang berlokasi di Purus, Kecamatan Padang Barat dijadikan RAS Center. Diharapkan masyarakat bisa pula mengadopsi atau mendirikan RAS di daerah lain.
Di RAS Center, masyarakat bisa melihat apa-apa saja yang dilakukan sejak didirikan pada tahun 2011 lalu. Masyarakat pun bisa melihat bagaimana pendampingan karakter dan pengasuhan anak dijalankan di RAS. Di RAS, anak-anak dihargai ketika berbuat baik, disambut dengan riang gembira ketika mereka hadir dan memaafkan mereka ketika mereka berbuat salah.
Trainer pendampingan anak, Fitria Laurent menambahkan, apa-apa yang ditampilkan oleh anak-anak RAS Kota Padang dalam Festival Karakter adalah persoalan yang umum terjadi saat ini. Seperti di Guo, Kuranji, anak-anak ikut membantu orang tua mengumpulkan kerikil. Mereka nyaris tak memiliki waktu untuk bermain bersama teman.
Begitu juga dengan yang ditampilkan oleh anak-anak dari RAS Lubuk Minturun, RAS Wijaya Karya Patenggangan, RAS Pasia Jambak, RAS Purus dan RAS Parkit. “Kesibukan orang tua sering membuat anak kehilangan hak mendapat kasih sayang dari orang tua. Ada juga yang hak bermainnya terampas karena harus bekerja,” kata Fitria yang sudah dua tahun mendampingi anak-anak di RAS Kota Padang.
RAS adalah satu dari sekian lembaga swadaya yang membantu pemerintah membangun karakter anak sejak dini. Mempersiapkan anak-anak Indonesia menjadi orang-orang dengan kepribadian kuat dan bisa mencapai masa depan sesuai yang mereka impikan.
RAS didirikan oleh alumni SMA Negeri 2 Kota Padang angkatan 1985. Berawal dari konsep rumah singgah, para alumni itu awalnya mendirikan RAS di daerah Purus. Sebuah kawasan pantai yang dinilai sangat butuh pendampingan untuk membentuk anak-anaknya berkarakter baik.
“Melihat perkembangan teknologi, media dan lainnya, kami merasa perlu upaya untuk menyelamatkan anak-anak. Jadi konsep awalnya adalah rumah singgah untuk anak-anak sepulang sekolah. Di RAS, mereka mendapatkan bimbingan dan tuntunan. Sementara di rumah, mereka mungkin hanya mendapatkan tontonan,” kata Ketua Yayasan Anak Soleh 85, Apwiddhal, MT kepada padangmedia.com saat ditemui usai kegiatan Festival Anak Soleh sekaligus launching RAS Center.
Setelah tujuh tahun didirikan, RAS kini sudah berdiri di enam tempat berbeda. RAS juga sudah mendirikan tempat belajar alquran dengan sistem boarding school yang mereka sebut surau dimana tahun ini sudah memasuki angkatan ketiga. Pada umumnya, daerah-daerah tempat RAS hadir adalah daerah yang memiliki masalah anak cukup kompleks, seperti rawan ngelem, narkoba, ancaman kekerasan seksual, perkataan kotor, masyarakat ekonomi lemah dan lainnya.
Dalam perjalanan sejauh tujuh tahun itu, makin banyak yang peduli. Sejumlah pihak pun mulai tertarik menjadi sponsor demi melihat program-program penanaman karakter sejak dini yang dijalankan RAS. Beberapa pihak yang ikut mengembangkan RAS saat ini adalah alumni SMA N 3 Kota Padang angkatan 85, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk dan terakhir Entry Augustino Ltd yang mendanai RAS Center di Purus.
Meski demikian, menurut Apwiddhal, pihaknya masih butuh dukungan dari pemerintah kota, provinsi dan bahkan tingkatan lurah dan RT/RW. Karena, masih ada kendala di lapangan, seperti adanya penilaian yang bermacam-macam terhadap kegiatan di RAS.
“Padahal, kegiatan kita terdata di Pemko. Dan, saya pikir apa yang dilakukan di RAS sangat membantu program pemerintah dalam hal pembinaan anak. Ini adalah bagian dari program pemerintah yang dilakukan oleh masyarakat,” katanya. (Melda Riani, Wartawan Madya)
Komentar