Reporter: Mulyadi Baim
Editor: Febri D Chaniago
“Tuhan…. Apo bana salah kami,
Oh Tuhan…. Apo bana doso kami
Mangko manyisiah ka pungguang bukik
Ulah dek bansaik pamenan diri
Malang sansaro timpo batimpo ….”
(Tuhan, Apa salah kami, oh… Tuhan, apa dosa kami. Makanya hidup menyisir bukit, karena miskin jadi mainan diri. Malang dan sengsara terus menimpa”)
Lirik Lagu Minang itu pernah dilantunkan penyanyi Minang Odie Malik beberapa tahun lalu, saat Bukik Lantiak di Seberang Palinggam Kecamatan Padang Selatan ditimpa musibah longsor. Namun kali ini bukan membahas masalah musibah, hanya untuk menggambarkan kehidupan seorang janda yang ditinggal mati sang suami tercinta beberapa tahun lalu.
Adalah Marianis, yang nasibnya tidak manis. Tinggal di pinggir bukit di wilayah Mata Air, Kecamatan Padang Selatan, Marianis hidup dalam linangan airmata. Ibu tujuh orang anak berusia 51 tahun ini harus berjuang hidup dalam himpitan kemiskinan, tinggal di rumah yang tidak layak disebut rumah.
Sepeninggal suaminya, Marianis hanya mengandalkan tiga orang anaknya yang bekerja di pencucian motor, di tempat jasa cuci pakaian dan menjadi kuli bangunan. Tiga orang anaknya yang lain, dua orang masih duduk di bangku SD dan satu lagi masih duduk di bangku SMP. Sedangkan satu anak perempuannya terpaksa harus putus sekolah karena tidak ada biaya.
Mulyadi, Reporter www.padangmedia.com yang berkunjung ke tempat tinggal janda ini hanya bisa tertegun menerima curahan “parasaian” dari Marianis. Perempuan dengan gurat letih tergambar jelas di wajahnya yang semakin tua ini bercerita, beruntung tiga orang anaknya bisa bekerja untuk menghidupi ibu dan adik-adiknya walaupun dengan gaji tidak seberapa.
Dengan nada lirih, Marianis bercerita, anaknya yang pertama bekerja di tempat pencucian mobil di daerah Seberang Padang dengan gaji Rp350 ribu seminggu. Anak keduanya bekerja sebagai kuli bangunan namun penghasilannya tidak menentu. terkadang ada kerja, tapi sering liburnya karena tidak ada proyek bangunan dikerjakan. Sedangkan anak ketiga, bekerja di Laundry dengan penghasilan yang juga masih kecil.
“Dari situ kami semua mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan juga membiaya pendidikan adik-adiknya yang masih sekolah. Saya harus berhemat, berpandai-pandai mengatur belanja yang diberikan anak-anak walau sebetulnya upah yang mereka dapat hanya cukup untuk mereka,” tuturnya.
Marianis semakin sedih ketika menceritakan kondisi “rumah” yang mereka tempati. Hanya dengan dua kamar, disitulah mereka makan dan tidur. Anak-anak perempuan tidur di dalam kamar sedangkan yang laki-laki tidur di ruangan luar yang sekaligus sebagai ruang tamu dan ruang makan.
Mencoba mengetahui lebih jauh mengenai bantuan atau uluran tangan dari pemerintah, Marianis mengaku pernah didata oleh Ketua Rukun Tetangga (RT), bahkan sering. Namun ia mengaku sejak didata, ia tidak pernah menerima bantuan padahal dia sangat berharap bantuan.
“Saya berharap dan selalu berdoa ada uluran tangan dari pemerintah namun mungkin Tuhan belum mendengar doa saya,” ujarnya pilu.
Dia mengenang, dulu sewaktu suaminya masih ada, pernah terbersit keinginan untuk membangun rumah. Namun keinginan tinggal keinginan karena penghasilan suami sebagai kuli bangunan hanya cukup untuk makan dan biaya hidup sehari-hari. Teringat kenangan itu, airmata Marianis menggenang.
Dia tak mengerti, kepada siapa lagi dia harus mengadu. Kehidupannya sebagai janda, tiga orang anaknya yang terpaksa banting tulang untuk menghidupi ibu dan adik-adiknya, tinggal di rumah yang sangat tidak layak untuk ditinggali, hanya membuat genangan airmatanya semakin deras mencurah mengaliri wajahnya yang semakin keriput.
Dia berharap pemerintah, Walikota atau anggota dewan yang terhormat bisa mengulurkan tangan. Tinggal di rumah berdinding papan keropos, atap rumah berlubang dengan tonggak lapuk yang seperti tak kuat lagi menahan, seperti labilnya nasib seorang Marianis. (*)