
AGAM – Kabupaten Agam merupakan salah satu daerah rawan bencana di Sumatera Barat. Dari berbagai penjuru bencana mengintai, baik dari air, api, angin, maupun tanah.
Pemuka masyarakat Agam yang juga Bupati Terpilih dalam Pilkada 9 Desember 2015 lalu, Ir. H. Indra Catri, MSP Dt. Malako Nan Putiah terkait hal itu mengatakan, masyarakat yang hidup di kawasan bencana mesti memiliki kearifan lokal, seperti siaga bencana. Siaga bencana mesti diaplikasikan dalam bentuk sikap dan perilaku, bukan sekedar pemanis kata. Warga siaga bencana memiliki kewaspadaan yang tinggi. Mereka akan cepat tanggap bila ada tanda-tanda bencana diisyaratkan alam.
“Mereka memahami sifat dan perilaku alam, seperti ‘gabak di ulu tando ka hujan, cewang di langik tando ka paneh.’ Bila ada tanda-tanda akan terjadi peristiwa alam, mereka akan mempersiapkan diri dan keluarga untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan timbul nantinya,” ujarnya kepada padangmedia.com, Kamis (28/1).
Di samping itu, ada kearifan lokal yang perlu diperhatikan generasi sekarang. Kearifan lokal dari nenek moyang, seperti tidak membangun rumah di bawah pohon besar yang rapuh, tidak mendirikan bangunan tempat tinggal di bawah bukit yang mungkin gampang longsor. Tidak menebang pohon yang tumbuh di lahan dengan kemiringan ekstrim dan di sumber mata air. Tidak mendirikan bangunan di kawasan banjir.
“Kearifan lokal seperti itu, kini banyak diabaikan warga. Setelah bencana menimpa mereka, barulah mereka menyadarinya,” tuturnya.
Menurutnya, membangun rumah tempat tinggal keluarga di bawah kaki bukit, suatu saat akan terjadi bencana longsor. Mendirikan rumah keluarga dekat pohon besar nan rapuh, bila hujan badai datang, ada kemungkinan akan tertimpa pohon.
Yang juga sangat berbahaya adalah menebang pohon di area kemiringan 30 derajat ke atas. Perbuatan seperti itu, sama saja dengan mengundang bencana longsor.
Menyinggung bencana yang melanda sebagian Kabupaten Agam, pada Senin (25/1/), ia mengaku ikut berduka. Duka mendalam karena banyaknya keramba jala apung (KJA) yang rusak. KJA merupakan tempat petani ikan mengais rezeki, bila tempatnya yang hancur, tentu petani ikan tidak bisa lagi berbuat apa-apa.
Dt. Malako Nan Putiah juga mengingatkan sebuah kearifan lokal, yang mesti digarisbawahi segenap Rang Agam, yaitu ‘baringek sabalun kanai, bakulimek sabalun abih.’ (fajar)