PADANG – Setiap tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Perempuan kelahiran 21 April 1879 di Kota Jepara itu dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional yang dijadikan simbol emansipasi wanita di Indonesia.
Menanggapi Hari Kartini, sejumlah peselancar dunia maya atau netizen memberi komenter beragam. Beberapa di antaranya menggugat kenapa harus Kartini yang dijadikan lambang pejuang perempuan Indonesia.
Sejumlah hashtaq tandingan bahkan menjadi trending topic di twitter pagi ini, Kamis (21/4), yakni #cutnyakdien dan #Dewi Sartika. Beberapa netizen mempertanyakan kenapa harus Kartini yang diperingati, sementara banyak pejuang perempuan lain yang bahkan lebih dulu berjuang di medan perang maupun di bidang pendidikan.
Pemilik akun Satrio Piningit misalnya, menulis, “Kenapa harus Kartini, padahal ada Cut Nyak Dien dan lainnya,”. Akun lainnya, Aburizal Basir menulis, “Padahal, jauh sebelum kartini ngomong emansipasi, Cut Nyak Dien sudah jadi pemimpin loh”.
Gema Rullyana menulis, “Mohon maaf. bagaimana dengan Rohana Kudus? pejuang muslimah atauDewi Sartika, pendiri sekolah wanit, atau bagaimana dengan Cut Nyak Dien?”
Meski demikian, banyak juga yang berpartisipasi mengucapkan selamat Hari Kartini. Salah satunya, Menteri Sosial RI, Khofifah Indar Parawansa. Dalam akunnya @KhofifahIP menulis, “Perempuan Indonesia terus semangat maju mandiri, Selamat Hari Kartini”.
Pemikiran Lewat Surat
RA Kartini dikenal karena aktif melakukan korespondensi atau surat-menyurat dengan temannya yang berada di Belanda. Ia berpikir untuk berusaha memajukan perempuan pribumi sebab dalam pikirannya kedudukan wanita pribumi masih tertinggal jauh atau memiliki status sosial yang cukup rendah kala itu.
Surat-surat yang ditulis kartini lebih banyak berupa keluhan-keluhan mengenai kondisi wanita pribumi dimana ia melihat contoh kebudayaan Jawa yang ketika itu lebih banyak menghambat kemajuan dari perempuan pribumi. Ia juga mengungkapkan dalam tulisannya bahwa ada banyak kendala yang dihadapi perempuan pribumi khususnya di Jawa agar bisa lebih maju.
Kartini menuliskan penderitaan perempuan di Jawa seperti harus dipingit, tidak bebas dalam menuntuk ilmu atau belajar, serta adanya adat yang mengekang kebebasan perempuan. Gagasan Kartini tentang emansipasi atau persamaan hak wanita pribumi olah Kartini dianggap sebagai hal baru yang dapat mengubah pandangan masyarakat.
Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional di zaman pemerintahan Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, pada tanggal 2 Mei 1964. Selain itu, tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini sampai sekarang.
Perdebatan
Perdebatan tentang peringatan Hari Kartini banyak muncul setelah itu. Pasalnya, surat-surat Kartini dinilai tak menggambarkan kondisi perempuan Indonesia secara utuh. Jauh sebelum Kartini lahir, sejumlah pejuang perempuan Indonesia bahkan ikut berjuang mengangkat senjata ke medan perang, seperti Siti Manggopoh, Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, dan lain-lain.
Pada 1970-an, seorang guru besar Universitas Indonesia Prof Dr Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah itu. Seperti dikutip dari inilah.com, ia mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), Harsja menuliskan gugatan itu. “Kita mengambil-alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda,” tulis Harsja, yang mendapatkan doktornya di Harvard University. “Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.
Dengan halus Harsja menggugat, mengapa harus Kartini yang dijadikan simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita hebat dalam sejarah Indonesia, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Dalam penilaian Harsja, keduanya tak hanya dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan, melainkan juga memajukan pendidikan di masing-masing daerah mereka pada zamannya.
Sejarawan Islam, Tiar Anwar Bachtiar seperti dilansir dari republika.co.id juga mengatakan, sebenarnya banyak muslimah yang laik menjadi tokoh pahlawan Indonesia, bukan hanya Kartini saja. Namun peran Kartini sebagai pahlawan tidak terlepas dari peran Belanda yang punya kepentingan di sana.
Belanda tidak pernah melirik Rohana Kudus untuk dijadikan tokoh pahlawan karena perjuangannya untuk Indonesia. Sebab, Belanda menganggap Rohana sebagai musuh besarnya. Rohana, ujar Tiar, merupakan pemimpin redaksi sebuah surat kabar anti-Belanda.”Ia merupakan jurnalis Indonesia pertama yang hidup sejaman dengan Kartini,” ujarnya seperti dilansir dari Republika.co.id yang diterbitkan 21 April 2015.
Surat kabar yang diterbitkan oleh Rohana sangatlah keras dan anti-Belanda. Itu sebabnya, Belanda tak mendukung ia menjadi tokoh pahlawan.
Menurut Tiar, dengan suksesnya Rohana menjadi pemimpin redaksi menunjukkan kalau umat Islam di Indonesia saat itu sudah menjunjung tinggi hak-hak wanita. Rohana bisa menjadi pemimpin redaksi berarti secara struktur sosial tak ada masalah wanita menjadi pemimpin tertinggi dari sebuah sistem.
Apa yang diceritakan surat-surat Kartini dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang tidak bisa menggambarkan kondisi perempuan Indonesia seluruhnya. Dalam buku tersebut, seolah seluruh perempuan Indonesia kondisinya tertindas, padahal dalam faktanya malah ada yang jadi pemimpin redaksi.
Bahkan, karena jasanya yang luar biasa, termasuk mengajarkan pendidikan budi pekerti, agama, bahasa Belanda, politik, jurnalistik, sastra kepada orang di sekitarnya, Rohana mendapatkan penghargaan dari pemerintah. Ia meraih penghargaan sebagai Wartawati Pertama Indonesia dan Perintis Pers Indonesia. (rin/*)