AGAM – Sudah satu minggu usai alek pemilihan bupati dan wakil bupati Kabupaten Agam. Namun tata tertib penyelenggaraan khususnya tentang pelanggaran hingga saat ini belum ada titik terangnya dari penyelenggara Pilkada.
Hal ini menjadi sorotan dari Faraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Helmon Dt Itam, dan menuai kritik tajam atas kinerja Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Agam pada pelaksanaan Pilkada 9 Desember kemarin.
Dikatakan Helmon yang juga Ketua Dewan Perwakilan Cabang (DPC) Partai Hanura Kabupaten Agam, usai pelaksanaan Pilkada banyak persoalan yang sifatnya keganjilan, karena belum ada kejelasan terkait pelanggaran baik itu masa kampanye maupun usai Pilkada telah membuat kesewenang-wenangan pasangan calon melakukan pelanggaran yang diatur dalam undang-undang berlaku.
“Namun, Panwaslu dan KPU terkesan kurang tanggap atau seolah-olah membiarkan persoalan pelanggaran yang berlarut-larut. Terlihat jelas indikasi tersebut, terekam dari simpatisan Paslon dan tim sukses yang disebabkan lemahnya tindakan dari Panwaslu dan KPU, “ujarnya, Senin (14/12), di Lubuk Basung.
Dia mencontohkan, kampanye hitam, seperti politik uang, keterlibatan PNS yang ikut mengkampanyekan salah satu Paslon yang tujuannya dengan kepentingan tertentu. Tidak menutup kemungkinan independensi Panwaslu dan KPU yang perlu dipertanyakan.
Hal ini, kata Helmon, tentu diperparah oleh kekurang pahaman aturan karena Panwaslu dan KPU yang dinilai lemah. Begitu juga tindakan pencegahan dan pengawasan oleh Panwaslu yang dianggap kurang sigap dalam menangkap potensi terjadinya pelanggaran di tengah masyarakat.
Secara lebih spesifik, lanjut Helmon mengatakan, tingginya potensi pelanggaran dan kecurangan dalam Pilkada kemarin disebabkan kurang maksimalnya kinerja Panwaslu dan KPU . Aturan yang menjadi acuan Pilkada kurang memberi peluang kepada penyelenggara untuk berperan sebagai eksekutor sehingga kewenangan Panwaslu dan KPU untuk menyelesaikan sebuah pelanggaran menjadi terbatas. Terakhir kultur masyarakat Lubuk Basung terkesan merasa tidak senang terhadap beberapa pelanggaran yang terjadi.
“Faktor-faktor itulah yang mengakibatkan praktik pelanggaran dalam pelaksanaan demokrasi ini semankin menjadi-jadi, dan tidak tertangani dengan maksimal. Keterkaitan pelanggaran dan pihak Panwaslu dan KPU dalam menanggapi dugaan pelanggaran terkesan hanya menunggu laporan atau aduan dari masyarakat. Kalau, tidak ada aduan, maka dianggap tidak ada pelanggaran,” tandas Helmon.
Lebih jauh Helmon menjelaskan, mestinya logika berpikir ini yang harus ditelaah, karena pada dasarnya, penanganan pelanggaran mengacuh pada laporan dan aduan, temuan pelanggaran, dan informasi berkembang secara umum. Sehingga, bila Panwaslu dan KPU hanya terfokus pada opsi laporan dan aduan saja, maka penyelenggara dalam hal ini dianggap pasif. (fajar)