PADANG- Laju inflasi Sumatera Barat pada Pebruari 2016 meningkat signifikan. Kondisi ini menjadi anomali di tengah kondisi inflasi bulanan nasional yang masih mengalami deflasi. Hal ini menunjukkan, secara historis, inflasi Sumatera Barat cenderung memiliki fluktuasi yang tinggi.
Wakil Ketua Tim Teknis Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Sumatera Barat Bimo Epyanto melalui siaran pers Unit Komunikasi dan Layanan Publik Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Barat, Rabu (2/3) menyebutkan, laju inflasi bulanan Sumatera Barat pada Pebruari tercatat sebesar 0,73 persen (month to month/ mtm).
“Posisi ini lebih tinggi dibandingkan dengan Januari 2016 yang hanya sebesar 0,05 persen (mtm),” kata Bimo.
Secara tahunan, laju inflasi Sumatera Barat berada pada level 5,95 persen (year on year/ yoy) sementara secara tahun berjalan ( year to date/ ytd) mencapai 0,78 persen. Dengan besaran inflasi tersebut, Sumatera Barat tercatat sebagai provinsi dengan inflasi bulanan (mtm) tertinggi secara nasional.
Hal ini menunjukkan bahwa secara historis inflasi Sumbar cenderung memiliki fluktuasi yang tinggi. Kondisi ini menjadi anomali di tengah kondisi nasional yang pada umumnya mengalami deflasi bulanan sebesar -0,09 persen (mtm) dan kondisi regional Sumatera yang juga mengalami inflasi yang rendah,” ungkapnya.
Secara spasial, lanjut Bimo, inflasi Kota Padang bertolak belakang dengan Bukittinggi. Kota Padang mengalami inflasi sebesar 0,86 persen (mtm) dan berada pada posisi kedua dari seluruh kota yang mengalami inflasi secara nasional sedangkan Bukittinggi tercatat deflasi -0,21 persen (mtm) atau berada pada posisi ke 30 dari seluruh kota yang mengalami deflasi secara nasional.
Ia menyebutkan, sumber utama yang menyebabkan tingginya tekanan inflasi berada pada komoditas kelompok pangan bergejolak (volatile food) Kelompok ini mencatatkan inflasi bulanan sebesar 1,51 persen (mtm). Sementara inflasi kelompok harga barang-barang yang diatur pemerintah (administered price) dan inflasi inti (core) masing-masing tercatat sebesar 0,87 persen (mtm) dan 0,28 persen (mtm).
“Komoditas beras dan cabai merah kembali memberikan sumbangan yang tinggi pada inflasi kelompok volatile food seiring dengan curah hujan yang tinggi dan banjir yang terjadi di beberapa sentra produksi Sumatera Barat,” terangnya.
Pada kelompok administered price, sumber tekanan utama berasal dari kenaikan harga tiket angkutan udara meskipun masih berada dalam periode low season. Khusus kelompok inti, komoditas seperti mobil, sepeda motor dan emas perhiasan memberikan andil yang cukup tinggi dalam pembentukan inflasi. Adanya peningkatan bea balik nama dan penambahan asesoris (facelift) berdampak pada kenaikan harga mobil dan motor. Sementara itu, tren peningkatan harga emas global yang ditenggarai akibat meningkatnya permintaan berdampak pada peningkatan harga emas domestik.
Periode Pebruari 2016 diwarnai adanya deflasi pada komoditas bawang merah seiring dengan panen di wilayah sentra Nganjuk (Jawa Timur) dan Brebes (Jawa Tengah), penurunan harga BBM serta penurunan tarif listrik yang dilakukan bertahap sejak Desember 2015 hingga Pebruari 2016. (feb/*)