Fahri Hamzah Apungkan Lagi Wacana Caleg Dibiayai Pemerintah

Diskusi IKA Unand dengan pembicara Ketua KPU RI Husni Kamil Manik, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, anggota DPR RI Alex Indra Lukman dan Politisi PAN Taslim dipandu Host Vinna Melwanti. (Dok. IKA Unand)
Diskusi IKA Unand dengan pembicara Ketua KPU RI Husni Kamil Manik, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, anggota DPR RI Alex Indra Lukman dan Politisi PAN Taslim dipandu Host Vinna Melwanti. (Dok. IKA Unand)

PADANG – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Fahri Hamzah mengapungkan lagi wacana pembiayaan pencalonan anggota legislatif (caleg) oleh pemerintah. Hal ini untuk menghindari atau meminimalisir tindak korupsi di kalangan anggota legislatif karena sangat diyakini besarnya biaya kampanye caleg menjadi salah satu faktor yang akan mendorong perilaku korupsi.

Wacana itu diapungkan Fahri dalam Diskusi Ikatan Keluarga Alumni Universitas Andalas (Unand), Jumat (20/5) di Padang. Menurutnya, saat berkampanye, ada caleg yang rela menjual tanah, menggadaikan rumah atau setidaknya menguras simpanan harta yang ada. Intinya, pencalegan membutuhkan biaya tinggi.

“Wacana ini sebetulnya sudah lama bahkan sudah sampai ke pihak eksekutif namun sampai sekarang belum terwujud,” katanya dalam diskusi yang dipandu Host Vinna Melwanti tersebut.

Diskusi IKA Unand kali ini selain dihadiri oleh Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah juga ada anggota DPR RI Alex Indra Lukman, Ketua KU RI Husni Kamil Manik dan politisi PAN, Taslim Caniago. Fahri melanjutkan, menggunakan dana pribadi bagi caleg selalu mendapat komentar miring di masyarakat, baik terpilih maupun tidak terpilih.

“Kalau terpilih, mendapat anggapan miring akan bisa mengembalikan uang yag sudah dihabiskan saat kampanye. Kalau tidak terpilih, caleg gagal ini akan merasa terpukul karena disindir sudah menghabiskan uang banyak tapi tidak terpilih,” ujarnya.

Dia juga buka kartu soal bayaran ke partai bagi caleg. Selain biaya untuk kampanye, calon juga menghabiskan uang untuk membiayai partai. Walau banyak partai mengatakan tidak memungut bayaran, namun kenyataannya lain. Untuk mendapatkan nomor urut harus bayar, begitu juga ketika terpilih, harus setor atau potong gaji.

Politisi PAN, Taslim juga membenarkan kondisi tersebut meskipun dia sendiri mengaku tidak mau membayar ke partainya. Menurutnya, transaksi dalam politik tidak bisa dipungkiri, sejauh ini. Apalagi kalau calon yang akan maju bukan kader partai.

Dia mencurigai, transaksi politik untuk “membeli” atau memanipulasi suara justru sangat rentan di daerah-daerah terpencil. Ia yakin, minat orang untuk memilih di daerah-daerah terpencil tidak begitu tinggi karena dampak dari pemilihan tidak begitu dirasakan.

“Namun, pada saat pemungutan dan penghitungan suara, tingkat partisipasi di daerah terpencil tinggi dan diyakini faktornya adalah adanya “transaksi”,” tudingnya.

Sementara itu, Alex Indra Lukman mengungkapkan masalah persaingan caleg yang berat justru terjadi di internal partai. Kompetisi itu ditenggarai juga menjadi faktor politik transaksional.

Awalnya sistim pemilihan berdasarkan nomor urut kecil, persaingannya di internal partai adalah bagaimana mendapatkan posisi nomor urut 1 atau 2. Kemudian sistim berubah kepada suara terbanyak, persaingannya adalah untuk mendapatkan suara paling banyak.

“Saat terjadinya persaingan mendapatkan nomor urut kecil atau mendapatkan suara terbanyak ini ditenggarai adanya indikasi transaksi. Bagi sebagian caleg yang banyak uang akan melakukan segala cara, sampai mau membeli suara,” bebernya.

Dengan apa yang diungkapkan oleh para anggota dewan dan politisi itulah, wacana pembiayaan caleg oleh pemerintah semakin menguat. Fahri Hamzah menegaskan, untuk meminimalisir angka korupsi di kalangan legislatif, sudah seharusnya peserta pemilihan legislatif (pileg) didanai oleh pemerintah. (feb)

print

BERITA TERKAIT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *