PADANG – Dua aturan terkait pemilihan dinilai masih banyak bertentangan. Aturan tersebut adalah Undang – Undang (UU) nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan UU 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Persoalan ini menjadi bahasan dalam seminar yang digelar Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Sumatera Barat, Selasa (5/11/2019). Seminar dalam rangka eksaminasi UU Pemilu dan UU Pilkada ini dalam rangka mencari masukan terkait ke dua UU tersebut untuk persiapan pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2020 mendatang.
Ketua Bawaslu Provinsi Sumatera Barat Surya Efitrimen, mengawali seminar tersebut mengungkapkan, Bawaslu ingin mendapat masukan dari berbagai kalangan terkait pertentangan antara ke dua aturan pemilihan tersebut.
Dia berharap, masukan dan saran serta pendapat dari peserta seminar melahirkan formula yang tepat untuk memayungi pelaksanaan Pilkada 2020 sesuai bidang tugas Bawaslu dalam pengawasan.
“Kami berharap, seminar ini dapat menghimpun saran dan pendapat dari berbagai kalangan dalam rangka mencari formula yang tepat untuk melaksanakan Pilkada serentak 2020 mendatang,” kata Surya.
Dia berharap, Pilkada serentak 2020 dapat berjalan baik dan penyelenggaraannya sesuai dengan aturan perundang-undangan. Adanya pertentangan dua aturan kepemilihan tersebut tentunya akan menjadi rancu sehingga perlu ada solusi terhadap persoalan tersebut.
Pemateri dalam seminar tersebut antara lain Rektor Universitas Eka Sakti (UNES), Otong Rosadi. Dalam kesempatan itu, Otong mengungkap beberapa pertentangan yang jelas terlihat antara UU Pemilu dan UU Pilkada.
Otong memaparkan terutama yang berkaitan dengan pengawasan. Diantaranya, dalam UU Pemilu, jumlah anggota Bawaslu di kabupaten/ kota ada yang tiga orang, lima orang dan tujuh orang. Sedangkan, dalam UU Pilkada jumlah anggota Bawaslu kabupaten/ kota hanya tiga orang dan bersifat adhoc.
“Sementara, di Sumatera Barat, ada tiga daerah yang memiliki anggota sebanyak lima orang sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemilu. Secara nasional, ada 270 daerah yang akan melaksanakan Pilkada serentak pada 2020 nanti,” kata Otong.
Selanjutnya juga mengenai waktu pelaporan dan penanganan perkara tindak pidana pemilihan. Kalau dalam UU Pemilu memberikan waktu tujuh hari di tambah tujuh hari namun pada UU Pilkada, hanya tiga hari ditambah dua hari.
Dalam kesempatan itu, Otong juga membeberkan beberapa persoalan lain yang terlihat bertentangan antara UU Pemilu dan UU Pilkada. Termasuk kedudukan Bawaslu dalam memutus perkara pelanggaran administrasi. Jika dalam UU Pemilu Bawaslu bisa membuat keputusan namun dalam UU Pilkada hanya bersifat rekomendasi.
Sementara itu Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas (Unand), Khairul Fahmi juga mengupas lebih dalam terkait posisi Bawaslu kabupaten/ kota dalam Pilkada 2019.
Menurut Fahmi, perbedaan ini muncul karena adanya rezim-reziman dalam pemilihan. Rezim hukum Pemilu dipahami sebagai Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E UUD 1945. Sedangkan rezim hukum Pilkada dipahami sebagai pemilihan kepala daerah yang diatur dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
“Kalau boleh berpendapat, sebetulnya tidak perlu ada pemahaman seperti ini. Saya termasuk orang yang tidak setuju dengan rezim-reziman seperti itu,” ujarnya.
Dia membeberkan, sebagai konsekwensi dari rezim-reziman hukum Pemilu dan Pilkada, kodifikasi UU Pemilu tidak menyertakan UU Pilkada. Sementara kelembagaan penyelenggara Pemilu dan Pilkada ditarik masuk ke dalam UU Pemilu hasil kodifikasi.
“Sedangkan, dalam UU Pemilu hasil kodifikasi juga tidak diatur status penyelenggara Pemilu dalam penyelenggaraan Pilkada kecuali aturan peralihan mengenai Panwaslu yang sedang menjalankan tugas Pemilu 2019 dan Pilkada 2018 yang dibentuk berdasarkan UU nomor 15 tahun 2011,” katanya.
Kodifikasi yang tidak lengkap, tambahnya, khusus kelembagaan Bawaslu kabupaten/ kota, UU Pilkada tidak memberikan tugas dan wewenang pengawasan penyelenggara Pilkada. Dia menegaskan, Panwaslu kabupaten/ kota dalam UU Pilkada tidak sama dengan Bawaslu dalam UU Pemilu.
“Jadi tidak sama antara satu dengan yang lain. Dari sisi kewenangan juga tidak sama,” ulasnya.
Fahmi meragukan, kalaupun nanti gugatan uji materi (judicial review) terhadap beberapa pasal dalam UU Pilkada, persoalan yang timbul akibat adanya dua UU (UU Pemilu dan UU Pilkada) tersebut secara otomatis teratasi.
“Saya yakin, nantinya Bawaslu juga akan dihadapi kepada persoalan yang sama sebab kewenangan Bawaslu dalam UU Pemilu tidak ada dalam UU Pilkada,” ujarnya.
Fahmi menawarkan beberapa gagasan dalam rangka bagaimana mengatasi gap kewenangan tersebut. Diantaranya, Panwaslu kabupaten/ kota dalam UU Pilkada harus dimaknai sebagai Bawaslu.
“Harus ada frasa dalam norma yang sedang diuji membunyikan frasa “Panwaslu kabupaten/ kota adalah Bawaslu kabupaten/ kota,” usulnya.
Fahmi juga mengingatkan agar kewenangan Bawaslu kabupaten/ kota (UU Pemiu) juga harus dimiliki oleh Panwaslu kabupaten/ kota (UU Pilkada). Selain itu, juga mengenai Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) dan beberapa hal lainnya.
Seminar Bawaslu Provinsi Sumatera Barat dalam rangka Eksaminasi UU Pemilu dan UU Pilkada tersebut diikuti oleh kalangan akademisi, Bawaslu kabupaten/ kota, organisasi masyarakat dan perwakilan media massa. (fdc)