Kecelakaan dialaminya ketika hendak menjenguk nenek yang sakit dikampung, telah mengubur semua impian dan keceriaan masa remajanya. Ia benar-benar shock begitu sadar tubuhnya tak bisa digerakkan. Saat ia divonis lumpuh seumur hidup, dunia seperti kiamat. Ia tak bisa menerima kenyataan, putus asa dan mentalnya langsung down. Ia membayangkan betapa buruknya hidup yang akan dijalaninya dengan kondisi lemah, hanya di tempat tidur, tanpa daya.
Bertahun-tahun lamanya ia hanya terbaring. Kala itu ia hanya bisa menggerakkan sedikit tangannya. “Untuk dudukpun susah. Saya benar-benar terpukul. Pertama mengetahui kondisi saya begitu, saya tidak bisa menerimanya. Saya benar-benar putus asa karena divonis lumpuh total,” ujar Silvia mengingat peristiwa tragis 19 tahun lalu itu.
Saat itu, Silvia Piobang, begitu nama yang ia gunakan sekarang, sesuai kampung asalnya di Kabupaten Lima Puluh Kota, tengah libur kerja. Ia bekerja di perusahaan spare part mobil, cabang dari Medan. Karena libur, ia meminjam mobil kantor untuk pulang kampung melihat neneknya yang sakit. Saat kembali menuju Padang, kendaraannya mengalami kecelakaan tunggal, bannya pecah, persis di depan Hotel Pusako Bukittinggi. Mujur tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak, kejadian itu membuat tubuhnya terhempas.
Setelah kecelakaan, ia sempat dirawat di RS M.Djamil Padang. Hanya seminggu, ia memaksa pulang karena tidak mau menjalani operasi. “Biarlah kami menjalani pengobatan alternatif saja,” ucapnya.
Sebenarnya, bukan hanya soal biaya, tetapi ia sudah pesimis, dan keinginannya untuk berobat sangat kecil. Semangatnya untuk sembuh sudah hilang. Silvia cendrung pasrah, meski ibu satu-satunya yang menjadi penyemangatnya tetap berusaha mencari pengobatan alternatif. Ia kasihan pada ibunya yang harus membanting tulang untuk pengobatannya. “Saya anak tunggal. Saya cuma punya ibu. Pekerjaan ibu pun tidak tetap. Saya kasihan,” ujarnya dengan mengisyaratkan ayahnya entah dimana. Kepahitan itu bahkan pernah memunculkan lintasan pikiran ingin bunuh diri saja.
Namun kepasrahan itu akhirnya melahirkan semangat yang muncul tiba-tiba ketika ia mendengar ada saudara, masih hubungan keluarga yang melecehkannya. “Apalah yang diharapkan dari perempuan lumpuh. Mengurus diri sendiri saja tidak bisa, apalagi mengurus orang lain. Sedangkan ibunya sudah tua.”
Kalimat sejenis ini tak hanya sekali ia dengar. Perkataan-perkataan itu menumbuhkan semangatnya untuk bangkit. “Meskipun tak ada yang diharapkan dari seorang Silvia, setidaknya saya masih ingin berguna dan bermanfaat bagi orang lain,” ujarnya.
Silviapun bersemangat menjalani pengobatan alternatif di kawasan Bandar Buat Padang. Karena tak ada biaya, ibunya rela menjadi pekerja di tempat pengobatan itu. Mereka tinggal di rumah orang tua dari bapak yang mengobatinya, tak jauh dari lokasi prakteknya. Setiap hari, Silvia dibawa ke ruang praktek. Otomatis ia bertemu dengan banyak orang. Pasien lain yang berobat ke sana menjadi penambah semangatnya.
Perkembangannya luar biasa. Tahun 2005, ia mulai bisa menggerakkan anggota tubuhnya. Pada awal mulai berdiri, ia diikat pada tiang tua di rumah itu. Ia diberi korset. Silvia merasakan sendiri perubahannya. Selain itu, ia juga menjalani terapi di rumah sakit. “Sejak itu saya mulai bisa bergerak sedikit sedikit. Hanya itu yang saya ingat. Saya sudah banyak yang lupa, karena memang ingin melupakannya. Sepertinya kenangan itu sangat pahit. Biarlah orang mengenal saya seperti sekarang ini,” ungkapnya dengan nada getir.
Rasa getir yang diungkapkan Silvia bukan tanpa alasan. Diakuinya, sejak peristiwa itu banyak yang berubah. Sikap lingkungan bahkan kawan-kawan yang dulunya sering berkomunikasi, menjadi berjarak. Banyak yang “pura-pura” lupa padanya. “Mereka seolah tak kenal lagi dengan saya. Padahal kita satu sekolah dari kecil. Begitulah, kejadian itu bukan hanya menghilangkan semangat saya, tetapi juga kehilangan saudara dan teman. Saya sepertinya harus memulai dari awal. Satu-satunya semangat saya adalah Amak (ibu). Beliaulah yang memberi semangat dan selalu ada untuk saya. Tapi sudahlah, saya hendak melupakannya. Saya adalah hari ini dan masa depan. Bukan Silvia yang dulu lagi,” katanya kembali optimis.
Kenapa mulai tertarik dengan rajutan? Apakah hobi sejak dulu? Ternyata tidak. Ia lulusan SMK jurusan akuntansi yang sudah bekerja pada sebuah kantor bagian pembukuan. Merajut atau menjahit, sama sekali tak disukainya. Karena bosan dengan apa yang dilakukan sehari-hari, terapi, nonton TV, makan dan tidur, ia ingin mencari kegiatan lain. Masa itu HP juga masih langka. Seingatnya, ia baru punya HP tahun 2008.
Makanya ketika adik di kampungnya membawa tugas kerajinan menjahit dari sekolah, Silvia tertarik. Mengurai kebosanan ia coba-coba merajut dari contoh adik itu. “Ternyata bisa. Tapi namanya orang baru belajar, cara memegang jarumnya juga beda. Siapnya jadi lama karena salah terus. Waktu itu saya masih bolak balik ke RS M.Jamil, sekalian belajar sama perawat-perawat di poli. Kebetulan lagi musim bikin taplak meja,” tuturnya.
Begitu selesai, Silvia mencoba membuat lagi. Merasa belum mahir, ia hanya mencoba dengan model sederhana, seperti sarung HP, alas baki, sarung galon dan kotak tisu. Melihat hasilnya, sang Amak mulai mempromosikan kepada orang-orang yang dikenal. Ternyata ada yang berminat. Silvia semakin semangat. Kemudian ibunya mulai menitipkan karya Silvia ke konter-konter HP. “Harganya masih lima ribu rupiah.”
Setelah pindah dari Bandar Buat ke kawasan Gunung Pangilun, produksinya semakin banyak. Hingga suatu hari tahun 2013, dari Gunung Pangilun itu Silvia diajak ibunya jalan pagi ke GOR Agus Salim. Allah mempertemukannya dengan perempuan-perempuan sesama merajut di GOR. “Mereka sedang kumpul-kumpul bikin rajutan. Saya gabung dengan mereka. Ternyata asyik juga. Mereka tidak melihat saya yang memakai kursi roda, tetapi mereka merasa punya hobi sama yaitu merajut. Dari sanalah saya banyak belajar. Mereka sudah punya banyak model dan contoh,” paparnya.
Silvia seperti menemukan dunianya. Diakuinya, mereka dalam komunitas itu saling mendukung. Ia banyak menggali pengalaman dan pelajaran. Bahkan dari sanalah ia mulai membuat akun Facebook. “Awalnya bikin FB itu cuma ikut-ikut saja. Tapi lama-lama banyak teman satu hobi merajut, ketemu di FB. Akhirnya terasa manfaatnya. Saya bisa cari-cari teman juga di dunia maya. Karena teman didunia nyata sudah meninggalkan saya,” katanya agak sedih.
Namun kesedihan itu tak dibiarkannya berlama-lama. Bergabung bersama pengrajut yang semuanya normal, ia tak merasa dirinya berkebutuhan khusus. Bergerak dengan kursi roda tak membuat teman-teman di komunitas itu merendahkannya. Mereka tak pelit berbagi ilmu. Salah satu penggerak komunitas itu, Kak Mai pemilik rajutan Zhafira sangat mendukungnya. Hingga suatu kali, komunitas pengrajut merencanakan sebuah acara pelatihan dengan mendatangkan instruktur dari Bogor. Silvia tak menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Ia mendaftar untuk ikut pelatihan.
Ternyata instrukturnya ahli sepatu rajut, namanya Ucce Arniria Kesuma. Dari sekian banyak peserta workshop tahun 2016 itu, hanya ia sendiri disabilitas, membuat Ucce mudah mengingatnya. “Ibu itu sangat respon. Beliau baik sekali pada saya. Dari sanalah awalnya,” katanya.
Meski semula ia ragu-ragu karena keterbatasannya, termasuk dalam hal biaya, namun ia kembali optimis atas dukungan Ucce. “Saya ragu karena harga bukunya mahal. Alhamdulillah Bu Ucce memberi saya kemudahan. Harga buku spesial dan boleh nyicil,” ujarnya seraya tertawa.
Sebenarnya, ketika pertama melihat produk sepatu karya Ucce yang terkenal itu, Silvia sudah tertarik. Namun karena segalanya mahal, ia kurang serius. Apalagi tantangan dari lingkungan dalam bentuk ejekan dan cemooh. “Mana bisa si Sil itu ikut workshop dengan Bu Ucce, dia tak punya uang. Lagi pula si Sil itu tak bisa baca pola.”
Pelecehan dan penghinaan dari lingkungannya masih terus menerpa. Ia serasa ditampar.Untunglah komunitas merajut itu mendorongnya. Begitu pula dengan Ucce yang sangat perhatian padanya. Silvia akhirnya bisa melanjutkan pelatihan secara on line. “Saya sempat curhat. Saya sampaikan pada Bu Ucce, saya ingin ikut kelas, tapi terkendala biaya. Saya tidak bisa baca pola. Ibu itu baik sekali. Ia percaya dengan tekad dan niat baik saya.”
Sebelum ikut kelas dengan Ucce, Silvia mendapat bantuan modal dari Semen Padang. Perputaran produk rajutan itulah yang ia gunakan untuk mengikuti kelas rajut Ucce. “Alhamdulillah. Allah selalu menolong pada saat yang tepat. Bu Ucce juga banyak memberi kemudahan. Biaya sol sepatu bisa saya bayar saat sepatunya laku. Saya jadi semangat dan mulai fokus pada rajutan sepatu,” tutur perempuan yang mengaku masih terus belajar rajut dengan Ucce.
Silvia mulai berkembang dengan bantuan modal Semen Padang. Ia juga sering mendapat undangan Dimulai dari kelurahan, yang akhirnya bermuara pada Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Jadilah ia binaan dinas terkait dan tergabung bersama UKM lainnya di Sumatera Barat. “Alhamdulillah, saya sudah bisa memberi manfaat bagi orang lain melalui rajutan,” ujarnya seraya tak henti bersyukur.
Ibunya yang semula bekerja serabutan, sekarang sudah menjadi marketingnya. Ibu yang tak pernah lelah itu sudah bisa berbangga karena hasil sepatu rajutan Silvia sudah banyak dikenal dan dipesan. Hingga saat ini ia masih dalam binaan Semen Padang. Silvia ingat betul, sejak ia kecelakaan, 4 kali operasi, semua dibantu Semen Padang. Bahkan Desember tahun 2017 ia mendapat dana hibah. Dana itu untuk memodifikasi sepeda motor yang biasa mengantarnya kemana-mana. Awal masuk bengkel, motor itu sudah dipanjar atas bantuan tim Bukalapak Padang.
Sebelumnya, bila berpergian, Silvia dibonceng ibunya dengan menggunakan kursi roda yang kecil. Kesulitannya dengan kursi roda itu, bila lama duduk agak tertekan, ia merasa sakit. Jadi selang 1 atau 2 jam pantatnya harus diangkat supaya peredaran darahnya lancar. Kadang, bila duduk agak lama, bekas operasinya meradang dan lecet. Jadi dengan modifikasi sepeda motor itu, ia bisa menggunakan kursi roda besar yang biasa ia gunakan.
“Alhamdulillah, saya sudah belajar mengendarainya. Sudah dibuat sesuai untuk kebutuhan sendiri. Sepeda motor ini mempermudah mobilitas sehari-hari,” jelasnya yang mulai sering memberi pelatihan di berbagai tempat tanpa harus merepotkan ibunya.
Saat ini, tak ada waktu luang bagi Silvia. Hari-harinya habis digunakan untuk merajut khususnya sepatu. Dari awal tujuannya belajar membuat sepatu rajut adalah untuk membantu orang-orang yang susah mendapatkan sepatu yang pas di pasaran. Mungkin lantaran ukurannya besar atau kaki yang tidak seimbang terutama bagi teman-temannya sesama difabel.
Menyadari banyak kendala seorang disabilitas, Silvia bermimpi suatu saat dapat membuka tempat kursus merajut untuk difabel dan perempuan secara cuma-cuma. Bergabung dengan banyak UKM dan Bukalapak, banyak kemudahan yang ia peroleh. Makanya Silvia ingin berbagi dengan teman-teman senasibnya. “Saya sudah merasakan susahnya mendapatkan ilmu rajut. Jadi saya mau kaum perempuan khususnya difabel lainnya juga punya kegiatan yang bisa menunjang ekonomi. Saya beruntung bisa bertemu orang-orang hebat melalui UKM. Dengan rajutan inilah saya bisa membaur dengan UKM lain tanpa adanya perbedaan,” paparnya.
Meski dari kursi roda, ia tetap semangat berbagi ilmu merajut dengan kaum perempuan dan difabel lainnya. Gadis kelahiran 18 Januari 1980 itu merasa bahagia bisa menularkan ilmunya kepada banyak orang. Awal Oktober 2019 lalu, Silvia diundang Ibu Walinagari Koto Laweh Solok untuk berbagi ilmu rajutnya buat ibu-ibu di sana. Baru-baru ini, akhir Oktober, walinagari Piobang Lima Puluh Kota juga meminta Silvia memberi pelatihan merajut selama 4 hari bagi kaum perempuan. “Walinagari Koto Laweh dan Piobang mengundang saya untuk memberi pelatihan bagi ibu-ibu di sana. Alhamdulillah mereka antusias. Saya berharap nantinya ada bantuan dana hibah lagi untuk membuka kelas merajut gratis untuk perempuan dan difabel,” harapnya tetap optimis.
Optimis. Satu kata itu sudah ia tanam sangat kuat dalam jiwanya. Meski raganya berada dalam keterbatasan, namun setidaknya ia sudah menebar manfaat. Keterbatasan bukanlah halangan untuk berkarya. (nita indrawati)
Komentar