Oleh: Febry D Chaniago
(Berdasarkan laporan Fajar Andhika Pratama, Reporter www.padangmedia.com/ Agam)
Rumah di tengah kebun tebu di Jorong Gobah, Bukit Batabuah Kecamatan Canduang Kabupaten Agam itu tidaklah layak disebut rumah sebetulnya. Berdinding “palupuah” (batang bambu yang dibelah dan dicacah tapi tidak terpisah) dan baratapkan daun rumbia. Pintu dan jendela terpasang seadanya.
Di gubug di pinggang Gunung Merapi ini tinggal seorang janda, Yusnidar (47) bersama tiga orang anak gadisnya. Bekerja sehari-hari sebagai petani tebu untuk menghidupi keluarga setelah ditinggal suaminya Tasrizal yang meninggal beberapa waktu lalu. Yusnidar atau Tayuih, demikian para tetangga memanggil janda tiga anak ini menjadi orangtua tunggal dan tulang punggung keluarga.
Tinggal di rumah tak layak huni bukanlah keinginan setiap orang termasuk Tayuih. Namun himpitan ekonomi tak memberinya banyak pilihan. Dia harus tinggal dan bertahan demi masa depan ke tiga anak gadisnya. Sejak kematian suaminya, ayah dari anak-anaknya, dia harus membanting tulang lebih giat lagi.
Dinginnya udara lereng Gunung Merapi akan terasa sangat menusuk ketika malam tiba. Dinding rumah Tayuih yang hanya “palupuah”, ditambah lagi pada bagian atas tidak tertutup tak kuasa menahan terpaan dinginnya angin gunung yang menusuk tulang, menyeruak masuk melalui celah-celah bilah bambu menjadi derita Tayuih dan anak-anaknya.
Meski hidup di gubug reyot di tengah ladang tebu, tak membuat Tayuih dan ke tiga anaknya patah semangat. Tiga anak gadisnya, Nurfatimah Yutari (20) dan Si Kembar, Rahmatul Yusna (16) dan Rahmitul Yusni (16) tetap bertekad ingin maju demi mengangkat harkat keluarga. Nurfatimah saat ini bahkan sudah menginjakkan kaki di perguruan tinggi, sementara Si Kembar Rahma dan Rahmi masih duduk di kelas terakhir sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Tekad ke tiga anak gadisnya ingin maju menjadi penyemangat hidup Tayuih untuk terus berjuang. Baginya yang penting rejeki diperoleh itu halal. Penghasilan sebagai petani tebu disisihkan untuk kepentingan pendidikan ke tiga anak gadis buah hatinya. Baginya, menyokong pendidikan Fatimah, Rahma dan Rahmi adalah lebih penting dari segalanya.
Sepertinya, nasib Tayuih tak sentuh program pemerintah Kabupaten Agam, terutama soal tempat tinggal. Meski ada program bedah rumah tak layak huni, namun Tayuih masih luput dari perhatian pemerintah setempat. Tayuih mengakui pernah ada pendataan yang menurutnya sekitar tahun 2014 lalu untuk program bedah rumah.
“Pernah dulu didata, kalau tidak salah tahun 2014. Katanya untuk program bedah rumah. Namun sampai kini kami tidak pernah didatangi lagi dan kelanjutan dari pendataan itu tidak pernah kami tahu,” ujarnya lirih kepada reporter padangmedia.com, Fajar Andhika Pratama.
Meski berkecil hati kepada pemerintah, Tayuih tak mau berharap banyak. Ada atau tidak bantuan pemerintah, Dia harus terus berjuang melawan ganasnya hidup. Demi kelanjutan pendidikan tiga anak gadisnya. Demi masa depan mereka yang lebih baik, agar mereka tidak bernasib sama dengan dirinya. Tinggal di gubug berdinding bambu, minim sanitasi, jauh dari layak.
Kondisi itu takkan membuatnya menadah tangan, berharap-harap turunnya bantuan. Baginya perjuangan untuk mendapatkan biaya pendidikan anak-anak lebih penting daripada berharap “angin surga” bantuan pemerintah yang tak kian menyentuhnya.
Sehari-hari, wanita tua ini tetap bergelut dengan batang-batang tebu. Daun-daun tebu bermiang tak lagi membuat kulitnya gatal karena sudah terbiasa. Semoga, Fatimah, Rahma dan Rahmi dapat melanjutkan pendidikan dan mencapai cita-cita, memiliki kehidupan yang layak di masa depannya. (*)