Dari Ancaman Menjadi Kota Mati, Sawahlunto Bangkit dengan Membangun Kebudayaan

FGD Kepala daerah penerima PWI Award 2016. (tumpak)
FGD Kepala daerah penerima PWI Award 2016. (tumpak)

LOMBOK –  Komitmen Kota Sawahlunto membangun kebudayaan didasari untuk membangkitkan kembali Kota Sawahlunto, Walikota saat itu, Subari Sukardi, bersama DPRD yang menetapkan visi baru untuk membangun daerah. Visi tersebut dirumuskan dalam Perda 2/2001, yaitu Sawahlunto tahun 2020 menjadi Kota Wisata Tambang yang Berbudaya.

Kejayaan Sawahlunto merupakan daerah yang sebelumnya memiliki sumber daya alam melimpah, khususnya batubara, pada masa sebelum kemerdekaan. Tapi, hampir saja Sawahlunto menjadi kota mati dan harus bangkit dengan potensi yang ada.

Demikian disampaikan Walikota Sawahlunto, Ali Yusuf, dalam acara Focus Group Discussion (FGD) Anugerah Kebudayaan dengan tema “Bupati/Walikota Sebagai Ujung Tombak Kebudayaan Nasional” yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Hotel Lombok Raya, Mataram (Minggu, 7/2).

Dia menjelaskan, pertambangan batubara Ombilin yang dimiliki kota ini merupakan yang terbaik di Asia Tenggara. Namun, hasil tambang itu habis dikuras Belanda pada masa sebelum kemerdekaan. Tahun 1998, BUMN PT Bukit Asam hendak melakukan aktivitas penambangan namun tidak jadi karena batubaranya benar-benar habis.

“Pada era reformasi tahun 2000, asumsi kota Sawahlunto sebagai kota mati sudah tampak. Karyawan PT BA sudah melarikan diri. Orang sudah tidak lagi ingin tinggal di kota,” ungkapnya.

Untuk membangkitkan kembali Kota Sawahlunto, Walikota saat itu, Subari Sukardi, bersama DPRD menetapkan visi baru untuk membangun daerah. Visi tersebut dirumuskan dalam Perda 2/2001, yaitu Sawahlunto tahun 2020 menjadi Kota Wisata Tambang yang Berbudaya.

“Mengangkat peninggalan kolonial Belanda, kita membangun cagar budaya di pelosok kota,” kata Ali Yusuf yang turut merumuskan visi tersebut karena saat itu menjadi anggota DPRD.

Visi besar tersebut kemudian dilanjutkan dan dimantapkan oleh walikota berikutnya, yaitu Amran Nur. Hasilnya, pada tahun 2014, Sawahlunto berhasil menjadi mendapatkan penghargaan pemerintah kota peduli Cagar Budaya dan pemerintah kota peduli Museum.

Seiring berjalannya waktu, batubara habis, tapi cagar budaya yang dijadikan pioner bisa bangkit sampai hari ini, jelas Ali Yusuf. Tak hanya itu, Pemkot Sawahlunto juga menghidupkan kembali heritage songket silungkang. Pada zaman Belanda, songket silungkang ini sangat terkenal. Saat itu, songket Silungkang dipasarkan oleh saudagar ke berbagai daerah di Indonesia, seperti ke Semarang, Surabaya dan Batavia. Bahkan pada tahun 1910, Songket Silungkang dibawa Belanda ke pasar malam atau festival ke Brussel, Belgia.

“Itu menjadi heritage. Maka tahun 2015 yang lalu kami mengangkatnya dalam karnaval sehingga mendapat rekor MURI. Alhamdulillah, pada 12 Septembernya, Butik Shafira membawa Songket Silungkang ke New York mengikuti festival,” ucap Ali Yusuf.

Selain itu, dia menambahkan, di Sawahlunto juga digelar Festival Wayang Nusantara Sawahlunto (FeWaNuSa) yang pada 2015 memasuki tahun ketiga. Karena memang, masyarakat Sawahlunto sangat majemuk bahkan 30 persen merupakan suku Jawa.

“Sawahlunto multi ernis. Ada jawa, Sunda, Bugis, Batak, Cina, tentu juga Minang. Sehingga 30 persen warga  Sawahlunto suku jawa. Maka pada 2015 yang lalu, kami gelar Festival Wayang Nusa 3. Pada tahun 2016, Festival Wayang Nusa 4, kami akan undang Ki Enthus,” katanya yang langsung disambut tepuk tangan peserta FGD ini.

Selain Walikota Sawahlunto , tujuh kepala daerah lainnya yang mendapat penghargaan serupa. Yaitu, Dedy Mulyadi (Bupati Purwakarta), Abdullah Azwar Anas (Bupati Banyuwangi, Jawa Timur), Enthus Susmono (Bupati Tegal, Jawa Tengah), Hugua (Bupati Wakatobi, Sulawesi Tenggara), Jimmy F. Eman (Walikota Manado, Sulawesi Utara), Mochamad Ridwan Kamil (Walikota Bandung, Jawa Barat) dan Wilhelmus Foni (Penjabat Bupati Belu, NTT). (tumpak)

print

BERITA TERKAIT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *