JAKARTA- Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17 dan 18 Februari 2016 memutuskan untuk menurunkan Suku bunga (BI Rate) sebesar 25 basis points (bps) menjadi 7 persen, dengan suku bunga Deposit Facility menjadi sebesar 5 persen dan Lending Facility menjadi sebesar 7,5 persen. Bank Indonesia juga memutuskan untuk menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) Primer dalam Rupiah sebesar 1 persen, dari 7,50 persen ke level 6,5 persen, berlaku efektif sejak 16 Maret 2016.
Dalam siaran pers BI di situs bi.go.id, Direktur Eksekutif pada Departemen Komunikasi BI Tirta Segara menginformasikan, keputusan tersebut sejalan dengan ruang pelonggaran kebijakan moneter yang semakin terbuka dengan semakin terjaganya stabilitas makroekonomi, khususnya penurunan tekanan inflasi di 2016, serta meredanya ketidakpastian di pasar keuangan global.
Kebijakan penurunan BI Rate dan GWM Primer dalam Rupiah tersebut diharapkan dapat memperkuat upaya mendorong pertumbuhan ekonomi yang sedang berlangsung. Bank Indonesia juga akan terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah untuk memastikan pengendalian inflasi, penguatan stimulus pertumbuhan, dan reformasi struktural berjalan dengan baik, sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan ke depan dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi.
Di sisi perekonomian global, pemulihan ekonomi berisiko terus melemah. Sementara itu, risiko di pasar keuangan global yang bersumber dari kemungkinan kenaikan Suku Bunga Kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau Fed Fund Rate (FFR), semakin mereda. Pemulihan ekonomi AS masih tertahan seiring dengan konsumsi yang masih lemah, perbaikan sektor perumahan yang melambat dan sektor manufaktur yang masih terkontraksi.
Pemulihan ekonomi AS yang belum solid mengakibatkan perkiraan kenaikan FFR bergeser mundur pada semester II 2016 dengan besaran kenaikan yang lebih rendah. Bank Sentral Eropa (ECB) masih melanjutkan kebijakan quantitave easing (QE) sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi Eropa yang masih rendah. Demikian pula Bank Sentral Jepang yang mulai menerapkan kebijakan suku bunga negatif.
Di sisi lain, perekonomian Tiongkok terus melambat akibat masih lemahnya sektor manufaktur dan investasi, sejalan dengan proses deleveraging yang dilakukan oleh sektor korporasi. Sementara itu, di pasar komoditas harga minyak dunia diperkirakan cenderung menurun, akibat meningkatnya supply dan melemahnya permintaan.
Momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mulai terjadi sejak triwulan III 2015, berlanjut ke triwulan IV 2015, antara lain didorong oleh pengeluaran pemerintah. Pertumbuhan ekonomi triwulan IV 2015 tercatat 5,04 persen (year of year/ yoy), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya sebesar 4,74 persen (yoy). Peningkatan pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV 2015 antara lain didorong oleh peran Pemerintah, baik dalam bentuk konsumsi pemerintah maupun investasi infrastruktur, serta penyelenggaraan Pilkada.
Di sisi lain, peran sektor swasta masih terbatas, yang tercermin dari konsumsi rumah tangga dan investasi nonbangunan yang belum kuat. Dari sisi eksternal, ekspor masih menurun seiring pemulihan ekonomi global yang berjalan lambat dan harga komoditas yang terus turun. (feb/*)