Bagi wisatawan atau tamu-tamu yang pernah berkunjung ke Sumatera Barat, nama Christine Hakim barangkali tak asing lagi. Nama yang ia abadikan sebagai merek toko “keripik balado”-nya itu, bahkan sudah menjadi imej bagi kalangan tetamu, termasuk para pejabat, selebriti, dan tokoh-tokoh nasional yang datang ke ranah Minang. Bila berjalan-jalan ke Sumatera Barat, rasanya tak lengkap bila tak mampir ke toko yang menyediakan oleh-oleh khas daerah ini.
Membina UKM
Produk atau makanan yang dijual Christine bukan saja keripik balado hasil olahannya, tetapi juga beragam makanan termasuk kue-kue tradisional dari ranah Minang. Kue-kue dan makanan itu diproduksi oleh pedagang-pedagang kecil atau Usaha Kecil Menengah (UKM) dari berbagai daerah di Sumatera Barat. “Hingga sekarang sudah mencapai 200 UKM yang bergabung di sini. Mereka mitra saya,”ungkap Christine Hakim yang akrab disapa Kim. Bukan hanya mitra, kebanyakan dari mereka adalah binaan Christine.
Memang tidak mudah untuk bisa bermitra dengan Christine Hakim. Menurutnya,setiap produk yang dijual di tokonya sudah melalui proses seleksi, sehingga tak diragukan kualitas dan rasanya. Makanya hingga saat ini Ia selalu menekankan pada mitranya agar tetap menjaga kualitas.
Salah satu produk yang sudah melalui proses seleksi yang sangat panjang itu dicontohkan Christine adalah kipang kacang produksi Fitra dari Batusangkar. Sambil jalan, ia melakukan pembinaan . Menurut Christine pembinaaan yang ia lakukan sudah dimulai sejak pertama kali bertemu. Kala itu Christine diundang memberi ceramah dalam pelatihan UKM di daerah itu. Beberapa UKM memajang produk mereka, disanalah ia mengenal kipang kacang Fitra.
”Waktu kami masih kecil, ibu saya membuat kipang kacang. Buatan ibu saya sangat enak dan digemari orang. Makanya saya ingin membina Fitra dan memberikan ilmu saya padanya,” kisah Christine yang langsung tertarik untuk menengok dapur Fitra.
Semula Fitra sangat malu bahkan dalam keluarganya yang semua adalah PNS, ia juga merasa malu karena membuat kipang kacang. Makanya ia dengan sembunyi-sembunyi melakukannya disamping tidak percaya diri. ”Saya beri tahu dia bagaimana cara merendang kacang agar tidak gosong. Wajannya harus tebal, tungkunya harus dengan api yang penuh. Gulanya harus gula pasir. Saya rasa saat itu dialah yang pertama membuat kipang dengan gula pasir seperti buatan ibu saja. Karena yang lainnya banyak menggunakan gula merah. Begitu juga kacangnya. Saya tekankan padanya, bahwa kacangnya harus bagus. Pertama kali itu saya lihat kacangnya masih kualitas rendah. Sebagian ada yang gosong, jadi belang-belang,” papar Christine.
Pada awal itu memang masih terlihat kipangnya bercak-bercak. Christine penasaran. Kalau Fitra menjalankan seluruh saran yang ia berikan, bisa dipastikan tak ada yang gosong. Maka rasa penasaran itu terjawab ketika ia sengaja datang ke dapur melihat seluruh proses. Saat itulah Christine tahu bahwa apinya tidak penuh. ”Saya yakin kalau semua dijalankan seperti saya sarankan, hasilnya sama dengan buatan ibu saya. Tapi kenapa masih belum bisa sama. Ternyata ketika saya lihat ke dapurnya, apinya tidak full. Saya minta dia memperbaiki tungkunya, membuat disain sedemikian rupa sehingga apinya penuh dan rata,” lanjut Christine.
Akhirnya Christine bisa puas terhadap hasilnya. Apalagi menurutnya, Fitra adalah orang yang mau belajar dan mendengar. Sekarang ia boleh bangga karena dari usaha kipang kacang itu saja, Fitra yang tamatan Universitas Andalas itu sudah berhasil. Bahkan ia bisa lebih sukses dari saudara-saudaranya yang PNS. Fitra yang dulunya hanya numpang di rumah ibunya, sekarang sudah memiliki toko sendiri, bahkan tahun lalu ia sudah menunaikan ibadah haji. ”Dulu, ia pernah saya pinjami modal untuk membeli bahan baku persiapan menjelang Lebaran. Saya minta pengembaliannya dengan kipang kacangnya, dicicil setiap bulan. Eh, ternyata dua bulan pinjamannya lunas, karena bertepatan libur lebaran waktu itu,” ungkap Christine.
Bukan hanya Fitra,tapi masih banyak perorangan, pengelola usaha rumahan yang mendapat binaan Christine Hakim. Diawali dengan pertemuan dimana Christine diundang memberikan ceramah kewirausahaan. Pada kesempatan itu, peserta diminta untuk memajang produknya. Christine banyak memberi masukan. Bagi produk yang dianggapnya memenuhi standar,maka tak jarang pertemuan dilanjutkan pada kesempatan lain. Kebanyakan dari mereka adalah usaha rumah tangga yang membuat kue dan makanan tradisional, seperti rakik, kue sapik, sagun dan juga ada diantaranya rendang.
Christine termasuk orang yang tak pelit untuk berbagi ilmu. Dalam pertemuan-pertemuan dimana ia menjadi nara sumber, secara blak-blakan ia akan menceritakan kiat dan bahkan rahasia dapurnya. Cerita suksesnya, meski tak mengenyam pendidikan tinggi tanpa sungkan ia beberkan hingga detll. “Saya ingin mereka maju dan juga sukses bersama saya. Selama ini, keberhasilan usaha saya adalah karena keberadaan mereka. Tanpa mereka, mana bisa toko saya sebesar ini,” ujarnya merendah.
Selain toko yang menjadi pusat usahanya di kawasan Nipah di bawah Jembatan Siti Nurbaya Padang, ia juga menggandeng mitranya membuka toko bersama. Beberapa tahun belakangan, ia juga menghimpun pedagang kuliner di Christine Hakim Idea Park (CHIP) sebuah tempat hiburan keluarga di kawasan Padang Pariaman, tak jauh dari Bandara Internasional Minangkabau. .
Apakah ia tak takut disaingi? “Sama sekali tidak. Kita sudah mempunyai rezeki masing-masing. Mereka mitra saya. Lagi pula, saya selalu membuat terobosan dan inovasi,” sebut Christine yang juga tak takut bersaing dengan usaha sejenis. Berapa banyak usaha keripik balado di Sumatera Barat, menurutnya, setiap merek memiliki pasarnya sendiri. “Kalaupun banyak orang yang suka dengan keripik balado Christine Hakim, mungkin karena mereka suka rasanya yang enak,” katanya seraya tertawa.
Berawal dari Kesusahan
Berkisah tentang kesuksesan, hal itu tak diperolehnya dengan tiba-tiba. Ia memulainya dari nol. Diakuinya, masa kecilnya dibalut kesusahan. Lantaran ketiadaan, ia tak sempat mengenyam pendidikan. “Saya tak tamat sekolah. Ijazah saya cuma SD, “ katanya lugu, tanpa sungkan-sungkan. Karena itu pula, Christine Hakim mengelola usahanya dengan otodidak. Pengalaman berdagang, dipelajarinya dari sang ibu, Ham Fung Hai.
Sejak Christine kanak-kanak, ia sudah menyaksikan ibunya dengan gigih berjualan demi membiayai hidup mereka enam bersaudara. Ham Fung Hai mencoba segala cara. Ia berjualan kerupuk kulit, kue, mie dan makanan apa saja. Kala itu rumahnya yang sempit di kawasan Muara Padang itu lebih mirip dapur karena semua makanan yang dijual ibunya diolah disana. Diakuinya, ibunyalah yang pertama mengajarkan membuat kipang kacang.
Christine yakin, kipang buatan ibunya sangat enak. ”Diolahnya pakai gula pasir. Gula pasir dihancurkan dulu baru dimasukkan kacang. Waktu itu saya kebagian merendang kacang. Merendang kacang itu kerja yang susah sekali. Karena menurut ibu saya, tidak boleh berhenti. Harus terus menerus. Saya sering menangis waktu disuruh mengerjakannya. Karena tangan saya rasanya pegal. Tapi saya tidak boleh protes,:” kisah Christine mengenang masa sulitnya.
Bisa dibayangkan gadis kecil, yang seharusnya masih bermain-main tetapi sudah diberi tugas dan tanggung jawab semacam itu. Ia merasa kerjanya berat. Tapi ibunya sangat keras. Anak-anak tak boleh protes dan bermalas-malas. Diakui Christine, ibunya sangat keras dan gigih. Jika tak gigih, sang ibu tentu tak bisa menghidupi keluarga, karena ayahnya Loei Sin, sudah meninggal ketika Christine berusia tiga tahun.
Perempuan kelahiran Padang, 29 Agustus 1956, menyebukan masa kanak-kanaknya, jauh dari kecukupan. Karena itu pula, Christine dan saudara-saudaranya yang lain tak bisa sekolah dengan sempurna. Saat itu selain membantu ibu, ia juga suka membantu kakaknya yang mencoba usaha membuat keripik singkong. Ia ikut mengupas ubi, menggoreng bahkan menggiling cabe. Tapi usaha sang kakak tidaklah berjalan mulus.
Pada awal-awal usahanya, meski hanya membuat keripik dari setengah karung ubi kayu, tak semuanya laku terjual. “Keripik itu lebih banyak dipulangkan dari pada terjual. Dari 10 bungkus yang terjual hanya dua atau tiga bungkus. Waktu itu, kami menitipkannya ke toko,” ungkapnya. Saat itu, ia dan kakaknya belum menemukan cara yang baik untuk mengolah keripik agar bertahan lama. “Satu hari saja, keripik yang sudah dibungkus rapi dan bersih, langsung berubah warna. Bentuknya jadi kusam. Tentu orang mengira keripik itu sudah basi,” sambungnya lagi.
Melihat tumpukan keripik yang lusuh dari toko, ia dan kakaknya sempat menangis. “Tentu saja kami sedih. Kami sudah bekerja keras memasaknya dengan biaya yang lumayan besar, tapi tak ada yang laku,” kenangnya.
Tapi ia tak putus asa. Bersama sang kakak, ia terus berusaha mencari cara agar keripik itu bisa tahan lama. Dia coba terus dengan cara mengolah yang lebih baik. Perlahan-lahan, kemudian mereka menemukan kiatnya.
“Tiap hari kami lakukan percobaan agar keripik itu bisa tahan lama. Akhirnya kami tahu, hal itu bisa dilakukan melalui proses pembuatan dan teknik memasaknya. Mungkin karena sebelum itu, masaknya tidak sempurna. Cara mengaduknya, juga diperhatikan,” jelasnya. Menurutnya tak ada resep khusus yang dirahasiakan.
Rentang lima tahun, perlahan-lahan, mereka mulai menemukan kiatnya. Keripik mereka mulai banyak terjual. Dari setengah karung ubi, kemudian mereka bisa memproduksi hingga 6 karung dan dititipkan di beberapa toko. Sampai tahun 1990, Christine membantu usaha kakaknya.
Memulai Usaha Sendiri
Ketika menikah, ia bersama suaminya mencoba untuk mandiri. “Saya nekad dan bertekad untuk mulai hidup baru. Kami coba dengan modal setengah karung ubi, seperti yang kakak saya lakukan. Saya juga memasukkan ke toko-toko. Saya cari langganan sendiri. Untuk menjaga hati kakak, saya tidak mau mengambil langganan mereka. Jadi semuanya saya awali dari nol.”
Untuk langkah awal, modal yang dimilikinya sangat terbatas. Apalagi menurutnya, sang suami juga tidak memiliki modal. Boleh dikatakan, suaminya kala itu setengah menganggur karena sakit. Memang terasa sulit. Modal minim, ia tak mampu menggaji pembantu. “Mulai dari memotong ubi, menggoreng, menggiling cabe, membungkus dan mengepak, saya lakukan dengan suami. Waktu memulai kerja, anak-anak saya bereskan dulu, masukkan dalam boks kayu tak jauh dari tempat saya bekerja. Sambil menggoreng, saya urus juga anak-anak. Saat mereka menangis, saya menyusui mereka dulu. Setelah aman, saya teruskan kerja,” paparnya.
Usaha keras, tentunya akan memberi hasil yang baik. Keripiknya banyak terjual. Pengalaman bersama kakaknya, adalah sesuatu yang paling berharga. Sehingga ia tak perlu mengalami pahitnya atau masa-masa sulit. Keripik balado buatannya langsung mendapat tempat di pasaran.
Christine ternyata tak salah pilih. Usahanya melesat dengan cepat. Pelanggannya tak hanya datang dari kalangan domestik, tetapi juga dari luar negeri seperti Malaysia dan Singapore. Sebagian besar pejabat atau tamu-tamu negara, bahkan kalangan selebritis yang pernah berkunjung ke Sumatera Barat, sangat akrab dengan keripik baladonya.
Satu hal yang sangat penting, dan kiat Christine Hakim mempromosikan produknya adalah dengan menggunakan kemasan berlabel namanya. Saat penjual lain belum memikirkannya, Christine malah dengan berani membuat kantong, boks atau kotak dengan merek tokonya. “Ini salah satu strategi promosi. Saat tamu-tamu itu kembali ke daerahnya, mereka tetap akan mengingat nama Christine Hakim. Mungkin saja ada kolega, saudara dan teman-teman mereka yang sempat mencicipi keripik saya, mereka dengan mudah mengontak ke alamat kami. Lagi pula dengan kemasan yang cantik, tentu jadi lebih menarik,” kata Christine. Padahal, seperti diakuinya, membuat kantong dan dus bermerek seperti itu membutuhkan biaya lumayan besar. Tapi efek promosi ternyata mempunyai pengaruh lebih besar.
Pertama menggunakan dus dan mesin pengikat itu, ia mendapat cemooh dari para penjual keripik yang kebanyakan berada di kawasan Pondok Padang. Mendengar cemooh itu, ia hanya mengurut dada. Namun dibalik itu, pelanggan keripiknya semakin banyak, karena kemasannya yang bagus. Apalagi dus itu bermerek namanya, sehingga semakin banyak orang mengenal produknya.
Akhirnya, ternyata orang-orang yang mencemoohnya itu kemudian juga mengikuti jejaknya, menggunakan dus bermerek. “Itu sudah menjadi tuntutan zaman. Mau tidak mau mereka harus berubah. Setelah dua tahun saya pakai dus bermerek, mereka juga ikut-ikutan,” ucapnya.
Tidak itu saja, penjual keripik balado di kawasan Kampung Cina Padang itu juga meniru caranya dalam hal lain. Mereka mulai terbuka dalam berdagang. Bahkan mereka juga sudah berani mempekerjakan karyawan serta membenahi tata letak dan disain tokonya agar menarik.
Dengan banyaknya pengikut yang sama, Christine harus berpikir lagi, apa yang menjadi keunggulannya. Ia harus memiliki sesuatu yang beda. Makanya, dalam dus yang sebelumnya hanya ada namanya, ia tambahkan dengan foto rumah gadang yang diambilnya dari foto Istano Pagaruyung. “Rumah gadang ini ciri khas Minangkabau. Saya harus memperkenalkan kepada masyarakat diluar Padang bahwa produk Christine Hakim itu adalah asli dari Sumatera Barat,” tuturnya.
Satu hal yang pantas ditiru dari pola kerjanya adalah tak kenal hutang. Christine selalu membeli kebutuhan tokonya dengan tunai. Mulai dari ubi kayu, minyak goreng, cabe dan semua makanan lain, ia bayar kontan. “Saya tidak mau berhutang. Saat mitra-mitra mengantar makanan seperti rendang, dendeng atau kue-kue kecil, seberapapun nilainya, saya langsung bayar. Saya tidak mau terlibat hutang,” ungkapnya jujur.
Christine memang selalu menegaskan dalam prinsip bisnisnya, sekali-kali jangan terlibat hutang. Bahkan sebaliknya, ibu 4 anak ini malah memberikan hutang kepada mereka yang memasok barang ke tokonya. Pada saat-saat lebaran misalnya, banyak mitranya yang mengalami kesulitan untuk modal membeli bahan baku. Misalnya, seorang pembuat dendeng dari daerah meminta pinjaman modal padanya untuk membeli daging mentah dalam jumlah besar. “Saya kasih pinjaman mereka untuk modal. Nanti setelah makanan jadi, mereka masukkan ke sini, mereka langsung bayar. Saya cuma mau bantu mereka. Saya dulu kan pernah susah juga,” ujar Christine yang juga tak pernah memanfaatkan hutang di bank.
Bagi Christine, pedagang-pedagang kecil itu adalah mitranya. Tamu atau pelanggan adalah raja. Dua hal itu selalu menjadi perhatian utamanya. Makanya, jika ada komplen dari pelanggan, ia langsung mencatatnya. Karena itu pula Christine selalu mengupayakan agar berada di toko sepanjang waktu. Dengan begitu ia akan berhadapan langsung dengan pembelinya. Dari mereka itulah segala keinginan dapat ia catat. Namun sejauh ini, kata Christine, belum ada yang protes tentang makanannya, misalnya berbau atau basi. Yang pernah ia dengar sekali waktu adalah masalah ubinya yang agak keras. Hal ini, kata Christine, memang sesuatu yang diluar jangkauan. Ada kalanya, ia mendapatkan ubi kayu yang agak keras, karena dalam musim kemarau. Tapi kondisi ini masih bisa ia atasi.
Pertama kali mendapatkan ubi kayu yang menjadi bahan bakunya, Christine membelinya di Pasar Raya Padang. Karena pengalaman cukup lama dengan kakaknya, ia tahu persis ubi kayu yang baik untuk keripiknya. Seiring dengan semakin banyak kebutuhan terhadap ubi kayu itu, ia mencarinya ke ladang-ladang masyarakat yang ada di Sumatera Barat. Ia menemukan ubi kayu yang cocok itu di daerah perbatasan Padang dan Pariaman. Melalui seorang toke, ia memesan ubi itu. Kebutuhannya saat ini sudah mencapai 1 ton setiap hari yang menghasilkan 250 kg keripik balado atau sama dengan 500 bungkus. ”Karena jumlah nya besar, peladang ingin memperbesar lahannya. Saya tidak keberatan meminjamkan modal pada mereka sampai puluhan juta untuk menyewa lahan beberapa tahun. Karena kita membutuhkan mereka, ya kita harus bantu. Mereka berladang untuk kebutuhan kita,” ujar Christine.
Sebenarnya kalau dinilai dengan uang, Christine sangat mampu untuk menyediakan lahan dan bertanam ubi kayu sendiri. Tetapi ia tak mau monopoli. Karena ingin memberikan kesempatan dan berbagi rezeki dengan orang lain. Bahkan untuk penjualan keripik baladonya yang mencapai satu ton itu menurutnya masih kurang. ”Tapi saya tidak mau memproduksi lebih. Saya kira untuk hidup kami sekeluarga sudah lebih dari cukup. Kalaupun permintaan masih banyak, saya minta saudara saya yang lain menyediakannya. Tapi saya harus bertegas-tegas dengan kualitas dan rasa, karena saya harus mempertahankan imej,” lanjutnya lagi.
Menyangkut manajemen dengan usaha sebesar itu, Chrstine Hakim mengaku, semula ia tak memiliki pembukuan yang bagus. Sebagai orang yang tidak sempat mengenyam pendidikan, Christine mengelola usahanya secara alami. Meski memiliki sejumlah pegawai untuk menjaga tokonya, ia tak mempunyai manajemen seperti layaknya sebuah usaha. Apa dan bagaimana manajemen itu, Christine tak pernah tahu. Ia juga tak pernah mencatat setiap penjualan atau pembelian barangnya. “Bagaimana Ibu tahu keuntungan dan perkembangan usaha ibu tanpa pencatatan?” tanya pegawai Dinas Perindustrian dan Perdagangan yang pernah datang ke tokonya. “Ya, begitulah Pak. Saya tidak pakai manajemen dan catat mencatat. Saya tahu keuntungan setiap akhir bulan. Berapa uang sisa pada saya, setelah membayar gaji karyawan dan membeli bahan baku, itulah untung saya,” katanya lugu.
Barangkali keluguan itulah, modal dan kunci keberhasilannya. Ia tak pernah neko-neko dan selalu jujur dalam menjalankan usahanya. “Kejujuran adalah kunci dari kesuksesan,” tegasnya. Dan selalu dalam setiap diberi kesempatan ceramah di hadapan UKM, selalu hal itu ia sampaikan.
Lantaran terbiasa melakuakn sesuatu dengan jujur, ia menilai semua UKM dan mitra yang sebanyak itu juga jujur padanya. Makanya tanpa berpikir panjang ia berani meminjamkan uang mulai dari jumlah kecil hingga puluhan juta. Caranya yang semacam itu mendapat kritikan dari pihak Dinas Perdagangan dan Perindustrian. Ia bahkan ditertawakan. ”Mereka bilang kerja saya salah. Tidak bisa memberi pinjam begitu saja. Bahkan tidak pakai surat resmi . Saya tak mau repot-repot,” tambahnya.
Namun sesuai tuntutan sebuah usaha, beberapa tahun belakangan Christine Hakim telah memiliki manajemen dan pembukuan yang rapi. Ia sudah memiliki ruang kantor sendiri, sebuah bangunan tak jauh dari tokonya. Disanalah seluruh transaksi dilakukan. Semua mitranya yang menyetor barang akan berurusan dengan beberapa pegawai, termasuk tenaga keuangan. Bila dulu semua urusan pengantaran barang menyatu dengan para pembeli, bisa dibayangkan betapa ruwetnya lalu lalang manusia di tokonya. (nita indrawati)