
Sepintas lalu, rumah di kawasan Sawahan Kecamatan Padang Timur Kota Padang itu tak beda dengan rumah hunian lainnya. Sebuah rumah lumayan besar dengan tiga lantai itu terlihat sejuk, dengan pekarangan yang tidak terlalu luas.
Namun, sebuah papan nama yang bertuliskan Rumah Batik Tanah Liek mulai memberikan gambaran bahwa rumah besar tersebut merupakan semacam galeri. Benar saja, memasuki ruang tamu, terlihat beragam corak batik terpajang memenuhi ruangan. Mulai dari lemari kaca di dinding sampai ke etalase yang berjejer penuh dengan kain motif batik.
Istimewanya disini, yang dipajang bukanlah kain batik biasa. Melainkan batik yang dibuat dengan sebuah proses khusus yaitu Batik Tanah Liek (tanah liat).
Adalah Ibu Hajjah Wirda Hanim, pemilik rumah sekaligus pemilik usaha batik tanah liek tersebut. Menurutnya, dinamakan batik tanah liek karena dalam proses pewarnaan awalnya memang menggunakan tanah liat.
“Kain yang akan diberi corak batik, pewarnaan awalnya menggunakan tanah liat baru kemudian dicorak sesuai selera,” katanya.
Ternyata, rumah tersebut tidak sekedar memajang batik tanah liek namun juga sekaligus sebagai tempat produksi. Mulai dari proses pewarnaan dasar hingga memberikan corak dilakukan di rumah tersebut.
“Seluruh proses dilakukan menggunakan tangan dan peralatan tradisional, tanpa mesin,” jelasnya.
Hal itu terbukti, karena di lantai dua dan lantai tiga rumah tersebut dijadikan sebagai ruang produksi. Terlihat beberapa orang karyawan tengah “mencanting” lembaran kain dengan berbagai warna dan corak.
Pengusaha batik berusia 66 tahun ini telah melakoni usaha batik tanah liek sejak tahun 70-an. Menurutnya, batik sesungguhnya bukan asli dari Sumatera Barat tetapi berasal dari Jawa. Sehingga, seluruh peralatan membatik yang digunakannya dipesan dari Jawa.
“Namun khusus untuk Batik Tanah Liek, sejak awal dikembangkannya memang dilakukan di Sumatera Barat. Dulu, bahan tanah liat yang digunakan diambil di lahan rumah ini,” ujarnya.
Batik tanah liek diperkirakan sudah dikembangkan pada abad ke 16. Ada beberapa daerah di Sumatera Barat yang mengembangkan jenis batik ini namun semakin lama semakin memudar.
Hajjah Wirda tergerak untuk mengangkat kembali batik tanah liek karena tidak sekedar sebagai bahan pakaian. Pada batik tanah liek ada nilai seni yang tinggi. Untuk menjaga kelestariannya, produksi batik tanah liek Hajjah Wirda semua diproses secara manual atau hand made.
“Untuk satu lembar batik tanah liek bisa diselesaikan paling cepat tiga hari karena semua diproses tanpa mesin. Corak batik dilukis dengan canting tak ada yang distempel apa lagi di-print,” terangnya.
Tak heran, harga selembar batik tanah liek bisa mencapai dua setengah jutaan rupiah. Bahan dasar kain yang berkualitas tinggi dan “mahal” nya karya seni yang tertumpah di lembaran kain sangat sepadan dengan harga yang dibanderol.
Persoalannya muncul ketika tidak banyak orang yang bisa menghasilkan karya batik berkualitas. Menurut peneliti dari Universitas Andalas Toti Sri Mulyati, karena batik memang bukan seni budaya Minang, tidak banyak yang menguasai ilmu membatik.
“Dari hasil penelitian kami, tidak banyak yang memiliki kemampuan membatik di Sumatera Barat. Karena memang pada dasarnya seni membatik ini berasal dari tanah Jawa,” ujarnya.
Namun, Batik tanah liek membutuhkan regenerasi. Berangkat dari kekhawatiran seni Batik Tanah Liek akan pupus, Toti kemudian menggagas pelatihan seni membatik di Rumah Batik Wirda Hanim. Bekerjasama dengan Hajjah Wirda, Toti membiayai pelatihan tersebut dari sisa dana penelitiannya.
Bertempat di Rumah Batik Wirda Hanim, sebanyak 20 orang dilatih seni membatik. Sebagian besar peserta pelatihan adalah perempuan dan berasal dari berbagai daerah di Sumatera Barat. Menurut Toti, pelatihan ini tidak mengikat bahwa peserta nantinya akan menjadi karyawan di Rumah Batik Tanah Liek Wirda Hanim.
“Tujuan pertama adalah bagaimana menumbuhkembangkan ilmu membatik kepada lebih banyak orang. Setelah menguasai, mereka bebas berkreasi sendiri atau kalau mau menjadi pembatik di sini juga diberi kesempatan,” ujarnya.
Bagi yang ingin membuka usaha sendiri, nantinya juga akan dirangkul untuk bekerjasama dalam pemasaran. Artinya, pembinaan terhadap usaha batik yang dilakukan oleh peserta jika ingin mandiri tetap akan dilakukan sehingga seni membatik bisa tumbuh dan mendatangkan sumber ekonomi.
Batik tanah liek, tidak sekedar selembar kain tetapi adalah sebuah karya seni. Seni membatik membutuhkan kesabaran dan keuletan dan hanya orang-orang berjiwa seni tinggi yang mampu menorehkan corak batik yang memukau.
Penulis : Febry D Chaniago (Wartawan Madya 9749)
Komentar