Oleh: Melda Riani
Tragedi yang menimpa Yuyun (14), warga Rejang Lebong, Bengkulu, April 2016 lalu bisa jadi puncak dari masalah buruknya karakter anak-anak bangsa. Bisa juga cerminan kian menipisnya fungsi keluarga dalam membentuk karakter anak-anak mereka. Bukan saja karena kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang menimpa bocah yang masih duduk di bangku SMP itu, tapi karena tujuh dari 12 pelaku yang ternyata masih di bawah umur.
Sungguh mengejutkan semua orang bahwa anak-anak yang seharusnya menghabiskan lebih banyak waktunya di rumah dan sekolah sebagai ruang yang melindungi mereka dari pengaruh nilai-nilai buruk, malah melakukan perbuatan sadis dan di luar kemanusiaan. Banyak nurani tersentak, banyak air mata simpati yang mengalir bagi bocah perempuan malang itu.
Kasus Yuyun bisa jadi titik perjuangan untuk mengubah berbagai aturan yang memperberat hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Namun, itu bukan satu-satunya persoalan inti dari kasus itu. Yang lebih memprihatinkan adalah anak-anak yang menjadi pelaku kekerasan seksual. Hukuman bagi mereka sesuai Undang-undang Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Anak, maksimal hanya 10 tahun penjara. Jika dipotong berbagai remisi, maka usia mereka saat keluar tahanan justru pada masa-masa produktifnya. Jika tak mendapat pembinaan yang baik, malah akan menambah masalah bagi dirinya dan orang sekitar.
Banyak masyarakat mengira kasus Yuyun menjadi puncak dari kasus kekerasan seksual terhadap anak serta kasus anak-anak yang menjadi pelaku kekerasan seksual. Tapi ternyata tidak, hanya berselang tak sampai satu setengah bulan, malah ada lagi kasus yang lebih sadis dengan melibatkan anak sebagai pelaku. Yaitu, kasus Eno Parihah (18), karyawan swasta di Desa Jatimulya, Dadap, Kosambi, Tangerang, Banten, yang diperkosa dan dibunuh secara sadis pada Jumat, 13 Mei 2016. Lagi-lagi salah satu pelakunya adalah anak di bawah umur, pelajar SMP berusia 15 tahun yang baru saja menyelesaikan Ujian Nasional (UN).
Fenomena Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) semakin mengkhawatirkan. Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM menunjukkan, pada Februari 2015, jumlah penghuni Lapas sebanyak 3.507 anak. Terdiri dari jumlah tahanan anak sebanyak 781 anak dan jumlah napi anak sebanyak 2.726 anak. Pada Maret 2015, jumlah penghuni Lapas bertambah menjadi 3.559 anak, terdiri dari tahanan anak sebanyak 894 anak dan jumlah napi anak sebanyak 2.665 anak.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise mengaku prihatin dan menaruh perhatian dengan meningkatnya jumlah anak yang berhadapan dengan hukum. Menurutnya, generasi penerus bangsa itu harus diselamatkan, jangan sampai layu sebelum berkembang. Apalagi, keberadaan anak dalam tempat penahanan dan pemenjaraan, dapat menjadikan anak pada situasi rawan untuk menjadi korban berbagai tindak kekerasan. (antaranews, 28 April 2015)
Pendidikan Karakter di Keluarga
Keluarga adalah kelompok sosial terkecil dalam masyarakat. Keluarga seharusnya memegang peranan penting dalam membentuk karakter dan moral seorang anak. Keluarga merupakan tempat awal pembentukan moral dan karakter seseorang. Bagaimana seseorang saat dewasanya sangat tergantung dari bagaimana cara orang tua mendidik dan menanamkan ajaran moral kehidupan sejak kecil.
Seseorang yang dididik dalam lingkungan yang kasar, besar kemungkinan akan menjadikannya seorang yang kasar. Seseorang yang dididik dalam suasana kasih sayang dan penuh perhatian, ia akan tumbuh menjadi seseorang yang menyenangkan dan punya pribadi baik.
Mujdijono dan kawan-kawan dalam “Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Sumber Daya Manusia”, 1996, menulis, keluarga berfungsi mempersiapkan anak-anak bertingkah laku sesuai dengan niai-nilai dan norma-norma aturan-aturan dalam masyarakat dimana keluarga tersebut berada. Manusia Indonesia yang berkualitas, tulis Mujdijono, hanya akan lahir dari renaja yang berkualitas, remaja yang berkualitas hanya akan tumbuh dari anak yang berkualitas.
Pendidikan dalam keluarga sangat penting dan memegang peran dalam membangun karakter seorang anak. Sebagai lembaga sosial terkecil, seorang anak memulai proses belajar, sosialisasi lingkungan dan pengenalan yang baik dan buruk dari keluarga. Apa yang diajarkan dalam keluarga akan menjadi acuan baginya dalam bertindak dalam setiap kesempatan.
Sayangnya, pengaruh teknologi dan aspek lainnya telah membuat fungsi keluarga berkurang. Gadget dan layar monitor telah membuat waktu pertemuan menjadi berkurang kualitasnya. Waktu keluarga yang seharusnya bisa jadi ajang keakraban dan mendengarkan keluh kesah anak, kadang makin berkurang intensitasnya karena kesibukan masing-masing. Bayangkan saja, setiap anggota keluarga memiliki sekurangnya masing-masing dua gadget. Maka, baik saat di rumah maupun makan bersama di luar rumah, mata dan pikiran setiap anggota keluarga tersebut lebih tersedot pada layar gadget dan monitor masing-masing daripada saling bercengkerama.
Yang terjadi adalah teman, buku catatan harian dan blog menjadi tempat berkeluh kesah bagi anak. Jika dapat teman dan kelompok yang baik, tentu anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik, belajar dari lingkungannya. Sebaliknya, jika dapat teman yang tak baik, tak jarang narkoba menjadi pilihan.
Sayangnya, banyak keluarga saat ini yang lebih cenderung menyalahkan orang lain ketimbang mengintrospeksi dirinya sendiri atau cara mendidiknya pada anak. Tatkala anak terjerumus pergaulan yang salah, yang disalahkan adalah teman-teman sepergaulannya. Ketika anak mengalami kemunduran dalam hal akademik, maka yang disalahkan adalah gurunya.
Hampir sama dengan itu, sebagian keluarga cenderung melimpahkan kesalahan pada media, baik media massa cetak, elektronik – terutama televisi-, dan media sosial. Bagaimanapun, media mungkin banyak memiliki dampak negatif jika anak tak didampingi dan diberi pemahaman. Namun di sisi lain, media dan internet juga punya sisi positifnya. Sangat tergantung pada bagaimana orang tua memberi pendampingan bagi anak.
Ada pula orang tua yang ‘mengharamkan’ sama sekali televisi dan internet pada anak. Tapi, menurut penulis, itu tidak menjadi solusi. Jika anak ‘diharamkan’ dengan televisi dan internet, tapi tetap memiliki waktu bebas untuk bermain, anak malah ‘haus’ dengan rasa ingin tahu yang berlebihan di luar rumah. Keingintahuan tanpa pendampingan dari orang tua malah menjadi hal yang berbahaya bagi anak.
Menjaga komunikasi yang baik, mendekatkan anak dengan nilai-nilai agama serta mempertahankan quality time adalah cara terbaik untuk tetap menjadikan keluarga sebagai benteng utama dari berbagai dampak negatif pergaulan serta pengaruh negatif globalisasi.
Pelajaran Empati dan Problem Solving
Empati sepertinya menjadi sesuatu yang mahal saat ini. Rasa sakit atau penderitaan orang lain tak begitu dipedulikan asalkan bukan kita yang mengalaminya sendiri. Begitu juga problem solving atau pemecahan masalah, seharusnya menjadi pelajaran yang diajarkan di rumah dan juga di sekolah.
Dengan empati yang makin berkurang serta kemampuan problem solving yang tidak dimiliki, seseorang dengan mudah melakukan tindakan bodoh. Tanpa berpikir dan tanpa logika, seorang memutuskan untuk bertindak hal-hal di luar norma-norma dan akal sehat. Misalnya, seorang pelajar yang tega membunuh temannya hanya gara-gara tak diberi uang atau makanan. Seorang anak tega membunuh orang tua, suami membunuh istri atau sebaliknya, laki-laki atau perempuan tega membunuh teman dekatnya sendiri. Semua hanya gara-gara persoalan sepele, bertindak tanpa berpikir bagaimana memecahkan masalah yang baik terlebih dahulu.
“He’s my son,” kutipan dialog Spike, karakter anjing dalam film animasi Tom and Jerry yang membanggakan anaknya sudah menjadi hal yang familiar saat ini. Meski itu hanya sebuah film animasi anak-anak, tapi tak disangkal, itulah kondisi saat ini. Orang tua terlalu membanggakan anak dan tidak mau mendengar masukan dari pihak lain. Saat anak diterpa masalah, yang disalahkan adalah orang lain.
Tak jarang, ada anak yang bertengkar dengan temannya sendiri, orang tua malah ikut campur dengan menyalahkan temannya itu, bahkan balik menganiaya teman sang anak. Seperti yang terjadi di Lubuk Basung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, akhir 2015 lalu. Salah seorang pelajar kelas tiga SMP dianiaya oleh bapak temannya sendiri gara-gara pertengkaran teman sebaya. Pelajar tersebut, Afdalul Ilmi terpaksa harus dirawat di RSUD setempat selama dua hari. Ironisnya, laki-laki yang merupakan orang tua temannya sengaja memegang tangan Afdal dan menyuruh anaknya untuk meninju Afdal sebagai tindakan balas dendam. (Harian Singgalang, 2 Juni 2016). Sebuah tindakan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang orang tua.
Keluarga adalah tempat berkumpulnya ayah, ibu, dan anak. Namun pada hakikatnya, sebuah keluarga lebih dari sekadar tempat berkumpul. Keluarga seharusnya menjadi tempat mengaktualisasikan diri, berkomunikasi dan berkeluh kesah, berpendapat serta sebagai tempat yang nyaman dan aman bagi anak. Lebih dari itu, keluarga, dalam hal ini orang tua, menjadi kontrol perilaku dan moral anak.
Orang tua sudah seharusnya bisa bijak membaca jika ada perilaku-perilaku anak yang mulai menyimpang. Segera tangani bila memang ada perilaku sosial anak yang terlihat menyimpang, dengan atau tanpa bantuan orang lain. Hal itu untuk mencegah supaya jangan ada lagi anak-anak yang seharusnya memiliki masa depan cerah, malah mendekam di balik jeruji besi dan terpapar dengan pengaruh pelaku-pelaku kejahatan lainnya. Juga jangan ada lagi Yuyun, Eno atau perempuan mana pun yang nyawanya melayang dengan cara mengenaskan di tangan anak-anak yang tidak disangka sama sekali bisa melakukan hal-hal itu. (*)
Komentar