Oleh Melda Riani
“Masuaklah, dak baa gai do. Salam dulu (masuklah, tidak apa-apa. Salaman dulu)..,” seorang bocah laki-laki menyapa anak laki-laki lainnya yang nampak ragu-ragu masuk ke ruang yang lagi ‘heboh’ dengan nyanyian penuh semangat. Fadil, bocah berusia 8 tahun yang menyapa itu kemudian bergabung bersama puluhan anak lainnya, sementara yang lebih kecil terlihat asyik mewarnai didampingi beberapa guru relawan.
Siang itu, Minggu (14/8), sebuah rumah yang diberi nama ‘Ruang Baca Tanah Ombak’ memang sedang heboh karena kedatangan tamu istimewa, Yayak Yatmaka alias Yayak Iskra, seorang seniman yang concern dengan pendidikan anak serta dikenal dengan perjuangannya lewat lagu dan gambar. Yayak datang bersama Afrinaldi, seorang birokrat di Kementerian Sosial yang juga sangat peduli dengan pendidikan anak.
Yayak siang itu telah menyiapkan puluhan lagu dengan lirik sederhana tapi penuh semangat. Meski ia yang menciptakan lagu-lagu itu, tapi Yayak menyatakan lagu-lagu itu merupakan lagu anak-anak Indonesia. Karena itu, kalaupun direkam untuk dikomersialkan, tak mengapa asalkan bersama-sama, tidak sendiri. Sayangnya, tak semua lagu yang ia siapkan bisa dinyanyikan karena keterbatasan waktu.
Tanah Ombak belakangan memang sering kedatangan tamu istimewa. Istimewa bagi anak-anak yang istimewa pula; anak-anak pinggir laut di Purus Kota Padang, sebuah tempat yang lazimnya daerah pinggir pantai dengan kehidupan keras, sekeras hempasan ombak. Namun, Tanah Ombak telah banyak membawa perubahan, terutama pada perilaku dan karakter anak-anak di tempat itu.
Belum lama ini, Tanah Ombak didatangi Awam Prakoso, pendongeng dari Kampung Dongeng Indonesia. Ada lagi, mantan Wakil Menteri Pendidikan, Fasli Jalal, Ketua DPD RI Irman Gusman, Dirut PT Semen Padang, Benni Wendri, Anggota DPRD Sumbar, Guspardi Gaus, Walikota Padang, Mahyeldi Ansharullah dan lain-lain. Bahkan, Presiden RI Jokowi dalam kunjungannya ke Padang beberapa waktu lalu berencana singgah ke tempat itu. Hanya saja, karena pergeseran acara, Jokowi urung datang.
“Semua tamu yang datang ke sini, tidak ada pelayanan istimewa. Semua sama, duduk di tikar, bahkan di lantai tanpa alas,” ujar Yusrizal KW, salah seorang pendiri Tanah Ombak.
Begitu juga dengan relawan. Mereka datang ke tempat itu untuk mengajar, berbagi dengan cerita dan lagu, tanpa dibayar. Beberapa malah datang dari Jakarta, seperti halnya Afrinaldi yang dalam tiga bulan terakhir, datang hampir setiap minggu.
KW yang dikenal sebagai budayawan dan sastrawan Sumbar itu kepada padangmedia.com menuturkan, ia dan sahabatnya Syuhendri, punya cita-cita menciptakan generasi emas Purus. Diawali dengan membangun sebuah sanggar teater tahun 2014 di sebuah rumah pada gang sempit di kawasan Purus III, tepat bersebelahan dengan Rusunawa yang berdiri gagah di sampingnya.
Rumah sederhana itulah yang kemudian dikembangkan menjadi tempat belajar bagi anak-anak Purus. Diberi nama Tanah Ombak karena memang terletak di kawasan pinggir pantai. Selain itu, Tanah Ombak merupakan sebuah novel karangan Abrar Yusra (alm), seorang budayawan Sumatera Barat. Pemberian nama Tanah Ombak sekaligus sebagai apresiasi terhadap Abrar Yusra.
Saat masih jadi sanggar teater hanya ada sekitar 20 anak yang dibina. Tapi, setelah menjadi Ruang Baca, sudah ada sekitar 70 anak yang bergabung. Beberapa merupakan anak putus sekolah dan anak jalanan.
Menurut KW, di Tanah Ombak, ada empat hal yang dilakukan, yakni belajar pengetahuan, membaca, mengembangkan potensi dan kemandirian. Saat ini, anak-anak di Tanah Ombak baru mulai memasuki tahap ketiga, yaitu mengembangkan potensi. Suatu hari nanti, mereka diharapkan bisa memperoleh kemandirian di tempat itu. Karena itu, selain teater, musik dan keterampilan tangan, mereka diajarkan pula Bahasa Inggris oleh beberapa relawan mahasiswa setiap minggunya. Apalagi, Purus merupakan kawasan wisata yang saat ini tengah dikembangkan secara serius oleh Pemerintah Kota Padang. Kemampuan bahasa Inggris bisa jadi bekal bagi anak-anak itu untuk mandiri ke depannya.
Metode yang diterapkan di Tanah Ombak adalah bermain sambil belajar. Belajar dengan proses yang menyenangkan akan lebih bermakna bagi anak-anak. Selain itu, mereka dibiasakan untuk membaca sekurangnya selama setengah jam sehari. KW yakin, yang bisa merubah peradaban itu adalah pengetahuan. Dan, pengetahuan bisa diperoleh dengan membaca.
Setelah dua tahun berjalan, sudah ada hasil yang diperoleh. Walaupun untuk menciptakan generasi emas butuh waktu yang tak sebentar, tapi setidaknya sudah mulai ada yang dituai. Misalnya, Tanah Ombak berhasil dalam Pertunjukan Teater Terbaik Nasional serta menjadi 1st Gramedia Reading Community Competition 2016 Regional Sumatera.
Di atas semua prestasi tersebut, KW merasa senang dengan perubahan perilaku anak-anak Tanah Ombak. Dulu, anak-anak di sana suka bercarut (berkata-kata kotor, red). Itu sudah menjadi perkataan sehari-hari. Namun, lewat nilai-nilai pendidikan serta seni budaya yang diajarkan, mereka mengasah karakter ke arah yang lebih baik.
“Sekarang, alhamdulillah perilaku suka bercarut itu sudah jauh berkurang. Ada juga yang biasa ngelem dan turun ke jalan. Tapi, sejak di sini kebiasaan-kebiasaan jelek itu sudah berangsur berubah,” tutur KW.
Kondisi seperti itu dibenarkan oleh warga setempat. Suna (65), seorang penjual lontong di tempat itu mengakui anak-anak di sana sudah jauh berubah dalam berperilaku, terutama dalam berkata kasar. Ia senang sejak ada Tanah Ombak, sudah ada tempat bermain yang baik buat anak-anak, tak lagi ke warnet.
Hal yang sama diungkapkan Yeti (51), seorang guru. Menurutnya, selain perubahan perilaku, tempat itu juga jadi jauh lebih bersih dari sebelumnya. “Saya penduduk asli di sini, jadi tahu bagaimana anak-anak itu sebelumnya. Kaget juga melihat perubahan mereka,” katanya.
Dukungan tidak hanya datang dari penduduk sekitar dan relawan. Orang-orang yang mulai tahu dengan Tanah Ombak kemudian memberi dukungan, baik dengan bantuan buku, dana dan lainnya. Kadang-kadang, ada saja donatur yang memberi bantuan perlengkapan sekolah, makanan dan sebagainya. Sementara, untuk buku-buku, selain koleksi yang sudah ada, juga akan ada bantuan dari pihak Gramedia selama setahun ke depan.
Dua tokoh yang peduli dengan pendidikan anak saat hadir di Ruang Baca Tanah Ombak, Minggu (14/8), Yayak Iskra dan Afrinaldi menuturkan, masalah anak-anak dari dulu sampai sekarang nyaris sama. Bahkan, sekarang bertambah dengan pengaruh gadget, internet dan televisi.
Yayak yang sejak sekitar tahun 1987 bergerilya keliling Indonesia untuk mengajak orang-orang peduli pada masalah anak berujar, selain masalah ekonomi yang bermuara pada persoalan eksploitasi, putus sekolah dan lainnya, anak-anak sekarang dihadapkan pada pengaruh yang besar oleh media televisi dan gadget. Mereka menjadi punya mentalitas konsumtif dan pasif. Karena itu, kegiatan-kegiatan pendidikan informal seperti yang dilakukan di Tanah Ombak maupun tempat-tempat informal lainnya sangat dibutuhkan.
Afrinaldi menambahkan, ke depan masih banyak ‘PR’ yang harus dilakukan oleh orang-orang yang peduli dengan masalah dan pendidikan anak. Terutama mengembalikan anak-anak pada usia mereka seharusnya. Anak-anak saat ini, seperti banyak terjadi, dewasa sebelum waktunya. Mereka berbahasa dengan bahasa orang dewasa, menyanyi dengan lirik dan gaya orang dewasa dan terbiasa hidup serba ‘instant’.
“Kita melakukan apa yang bisa kita lakukan. Bisa merubah satu anak saja, itu bukan pekerjaan yang mudah,” ujar Afrinaldi.
Tanah Ombak adalah salah satu bukti partisipasi publik di mana masyarakat bisa berperan dalam pembangunan pendidikan dan membangun karakter bangsa, terutama generasi penerus. Lewat sebuah ruang yang diiniasi sendiri dari masyarakat, para generasi bangsa belajar berperilaku, membentuk sikap positif dan membangun karakter yang tangguh. Sudah saatnya, komunitas-komunitas maupun lembaga seperti Tanah Ombak mendapat dukungan. Bersama membentuk peradaban yang lebih baik, termasuk dalam menjaga kebhinekaan di tanah air ini. (Penulis adalah wartawan di www.padangmedia.com)